MANOKWARI, Papuakita.com – Pansus Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas (DBH Migas) yang dibentuk DPR Papua Barat (DPR PB), hingga kini masih terus bekerja menyusun rancangan rekomendasi. Rekomendasi itu dijadwalkan akan disampaikan di dialam rapat paripurna DPR PB, Selasa (6/11/2018).
Ketua Pansus DBH Migas, Imanuel Yenu mengatakan, draf rekomendasi yang disusun oleh pansus masih harus diboboti. Tahapan ini dilakukan dengan memperhatikan sejumlah aspirasi yang disampaikan oleh perwakilan masyarakat dari Kabupaten Teluk Bintuni dan Sorong Selatan.
“Sejumlah rekomendasi sudah disampaikan oleh masing-masing anggota di dalam rapat pansus, untuk kemudian dibuat dalam rekomendasi hasil kerja pansus,” kata Imanuel Yenu, Selasa (30/10/2018).
DPR PB memutuskan membentuk pansus karena adanya desakan dan tuntutan yang disuarakan perwakilan masyarakat Kabupaten Teluk Bintuni dan Sorong Selatan. Mereka menghendaki alokasi DBH Migas harus proporsional dan transparan serta penetapan status sebagai daerah penghasil (migas).
“DPR Paua Barat tengah merancang peraturan daerah khusus tentang dana bagi hasil migas. Pansus bekerja supaya melihat aspirasi-aspirasi yang berkembang sebelum rancangan peraturan ini ditetapkan supaya tidak menimbulkan persmasalahan di kemudian hari,” ujar dia.
Sebelumnya masyarakat Suku Sumuri, kabupaten Teluk Bintuni menyuarakan aspirasi ke kantor DPR PB. Mereka menghendaki alokasi DBH Migas proporsional serta pembagian antara provinsi dan kabupaten lebih transparan. Hal yang sama juga dilakukan masyarakat Suku Immeko, kabupaten Sorong Selatan. Mereka mendesak daerahnya ditetapkan sebagai daerah penghasil (migas).
Draf rekomendasi pansus
Imanuel Yenu mengungkapkan, rancangan rekomendasi pansus meliputi sejumlah aspek. Antara lain, kewajiabn perusahaan terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas esplorasi, eksploitasi, hingga pasca operasinya perusahaan, keberpihakan di bidang sosial ekonomi, pendidikan dan kesehatan, ruang partipasi masyarakat lokal dalam aktivitas perusahaan.
“Contohnya, masyarakat Sumuri yang terpaksa harus direlokasi dari wilayah adatnya ke daerah lain akibat aktivitas eksploitasi migas. Mereka ini menjadi pendatang di daerah yang baru, tentu mereka tidak punya ketrampilan, masyarakat kesulitan. Pemerintah daerah dan perusahaan harus bertanggung jawab untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat,” beber Imanuel Yenu.
Imanuel Yenu menegaskan, rekomendasi pansus sudah sangat maksimal untuk memboboti materi rancangan peraturan daerah khusus (Raperdasus) DBM Migas. “Semua aspirasi masyarakat sudah terakomodir di dalam rekomendasi pansus. Kami rasa sudah maksimal,” ujar dia.
Sorong Selatan sebagai daerah terdampak
Di sisi lain, Imanuel Yenu memastikan kabupaten Sorong Selatan tidak masuk sebagai daerah penghasil migas. Ini didasarkan hasil pertemuan yang diselenggarakan pekan lalu di Jakarta.
Dia mengantakan, pertemuan tersebut dihadiri oleh Pansus, Pemerintah Provinsi Papua Barat, Pemda Sorong Selatan, perwakilan masyarakat suku Immeko, Kementerian ESDM, dan BP Indonesia.
“Kabupaten Sorong Selatan direkomendasikan sebagai daerah terdampak. Dulu ada sumur-sumur minyak yang pernah dieksploitasi, ini tentu menimbulkan dampak lingkungan yang harus dibenahi kembali,” katanya.
Diberitakan sebelumnya, Anggota fraksi Otsus, Yonadap Trogea memaparkan, pertemuan dengan pihak SKK Migas serta merujuk pada UU Migas, suatu daerah dapat dikategorikan sebagai daerah penghasil (migas) jika memenuhi tiga kriteria. Pertama, sudah ada kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Kedua, sudah ada proses produksi. Dan, ketiga adalah memberikan pendapata bagi negara atau pajak. (RBM)