Jangan Berpolemik, Maxsi Ahoren: MRPB Tidak Menolak Raperdasus Anggota DPRPB Jalur Otsus

MANOKWARI, PAPUAKITA.COM – Ketua Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat Maxsi Nelson Ahoren menyarakan, digelar pertemuan bersama kedua lembaga antara DPR Papua Barat (DPRPB) dengan Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat (MRPB).

Kata Maxsi, penolakan Rancangan Peraturan Daerah Khusus tentang pengangkatan anggota DPR Papua Barat melalui jalur otonomi khusus dikarenakan ada hal mendasar yang harus dikoreksi. Koreksi yang ditujukan mengenai tata cara pemilihan.

“MRPB diberikewenangan untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan. Kalau DPR Papua Barat tidak sepakat dengan usulan kami silahkan jalan dengan kewenangan mereka. Sebaiknya menyurati kami agar digelar pertemuan bukan berpolemik di media massa,” ujar Maxsi.

“Di dalam pertemuan itu, silahkan pertanyakaan dasar penolakan itu apa? Dua-dua ini lembaga yang berbicara kepentingan otonomi khusus dan kepentingan orang asli Papua. Bagaimana nanti tanggapan rakyat? Orang asli Papua sendiri tidak bersatu,” tambah Maxsi.

DPR Papua Barat telah menyerahkan tujuh Rancangan Peraturan Daerah Khusus (Raperdasus) ke MRPB pada 30 November 2018. Selama 28 hari, MRPB mempelajari sejumlah rancangan produk hukum tersebut. Alhasil, 28 Desember MRPB mengembalikan sejumlah raperdasus tersebut dengan disertai sejumlah catatan.

Menurut Maxsi, MRPB mengusulkan untuk dilakukan perbaikan atau penyempurnaan sudah sesuai dengan kewenangan pemberian pertimbangan dan persetujuan. “Raperdasus anggota DPRPB jalur otsus perlu perbaikan secara menyeluruh,” ucapnya.

Usulan yang disampaikan diklaim sebagai pembobotan terhadap materi raperdasus berdasarkan aspirasi dari 12 kabupaten dan satu kota. Dan itu bukan untuk menggugurkan draf yang sudah ada.

“Kami tidak punya kewenangan mengubah. Seandainya MRPB tidak diberikan kewenangan memberikan pertimbangan dan persetujuan sebaiknya raperdasus ditetapkan saja oleh DPRPB,” ujar Maxsi lagi.

Salah satu usulan perbaikan yang disampaikan adalah menyangkut raperdasus pengelolaan dana otonomi khusus. Di dalam raperdasus prosentasenya 90:10. MRPB mengusulkan agar dikembalikan ke 70:30, seperti yang selama ini dilaksanakan. Sebab, otonomi khusus menjadi kewenangan pemerintah di tingkat provinsi.

Maxsi menegaskan, MRPB bisa saja menolak ketujuh raperdasus pada saat penyerahan. Pasalnya, penyerahan sejumlah raperdasus tersebut tidak disertai dengan naskah akademik. Naskah akademik pun tidak diberikan hingga MRPB mengembalikan sejumlah raperdasus.

”Kami terima dengan legowo. Kalau MRPB punya hak legislasi jangankan tujuh raperdasus, kami bisa buat 10 raperdasus. MRPB yang ada ini punya kemampuan sama dengan mereka yang ada di DPRPB. Tidak perlu saling menuding, dua-dua ini lembaga yang sama-sama berbicara kepentingan orang asli Papua,” tandasnya.

Wakil Ketua MRPB Cyrillius Adopak menyayangkan pandangan yang mendelegitimasi kewenangan MRPB dalam memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap usulan rancangan peraturan daerah. Sebab, kewenangan itu diamanatkan di dalam Undang Undang Otonomi khusus (Otsus).

“Teman-teman di sebelah itu (DPRPB, red) meresponnya terlalu berlebihan. Respon balik dari MRPB itu tidak menolak materinya, tetapi teknisnya itu yang dikoreksi. Kursi otsus itu ada melalui perjuangan besar sehingga sama-sama harus kita jaga agar kursi ini ada terus. Tidak perlu melebar kemana-mana,” ujar Adopak.

Senada dengan ketua MRPB, Adopak menyarankan digelar pertemuan bersama antar DPRPB dengan MRPB. Pertemuan itu diyakini dapat menyudahi perbedaan pandangan sehingga tidak meruncing dan menjadi polemic.

“Dua lembaga ini punya tujuan yang sama. Teman-teman di DPRPB berbicara kepentingan orang asli Papua. Apalagi kami yang di MRPB ini yang lembaga kultur. Saya kira lepaskan ego dan kepentingan pribadi sehingga bisa sinkron,” ucap Adopak.

Tepis isu penolakan karena tendensi politik

Di sisi lain, perbedaan pandangan antara kedua lembaga terkait dengan penyusunan raperdasus pengangkatan anggota DPR Papua Barat melalui jalur Otsus. Juga dikaitkan dengan sengketa hukum yang sedang dihadapi 6 anggota MRPB. Proses hukum ini tengah diajukan ke tingkat Kasasi di Mahkama Agung.

Maxsi menyatakan, tidak ada tendesi maupun kepentingan politik lain. Usulan pembobotan terhadap sejumlah raperdasus murni untuk kepentingan bersama.

“Kalau sudah ada keputusan tetap kita PAW dan lantik yang baru, tidak ada masalah. MRPB tidak ada kepentingan politik yang lain. Yang ada itu kepentingan rakyat yang harus diperhatikan. Perbaikan-perbaikan yang kami usulkan itu adalah pikiran dan masukan dari masyarakat di semua kabupaten dan satu kota,” ungkap Maxsi.

Maxsi membeberkan, MRPB dibantu dengan 9 orang staf ahli. Sehingga usulan perbaikan terhadap sejumlah raperdasus benar-benar hasil buah pikiran yang terukur dan objektif serta dapat dipertanggungjawabkan.

“Isu yang berkembang hari ini bahwa ada pihak-pihak lain yang menyetir MRPB, itu salah. Intinya bahwa, perdasus ini tidak pernah disosialisasikan di kabupaten dan kota. Rakyat tidak tahu soal ini. Seharusnya mereka bersyukur akan hal itu, karena kami bantu sosialisasikan itu dan meminta input dari semua elemen masyarakat,” katanya lagi.

Cyrillius Adopak menambahkan, masukan MRPB semata dalam rangka meminimalisir berbagai dampak yang mungkin saja bisa muncul setelah penetapan dan pengesahan sejumlah rancangan produk hukum itu.

“DPRPB dan MRPB satu mata rantai yang tidak boleh putus. DPRPB memegang kendali legislasi, MRPB ini rumah yang menampung aspirasi masyarakat asli Papua. Silahkan tetapkan tetapi tolong perhatikan masukan yang ada. Terkait proses hukum, kita semua harus bersabar hingga porses final dan mengikat,” tutup Adopak. (RBM)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *