MANOKWARI, PAPUAKITA.COM—Kepala Kantor Kementerian Hukum dan HAM (Kakanwil Kemenkumham) Provinsi Papua Barat, Anthonius Mathius Ayorbaba menyatakan, ratusan warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIb Manokwari tidak dapat menggunakan hak pilihnya.
Menurutnya, hal itu diakibatkan sosialisasi Putusan MK Nomor 20/PUU-XVII/2019 yang membolehkan penggunaan surat keterangan (Suket) perekaman e-KTP lemah. Selain itu harus ada solusi khusus bagi orang-orang yang berada di rutan, lapas, dan rumah sakit, dan sebagainya yang memiliki hak demokrasi di pemilu.

“Mahkama Konstitusi dan KPU RI sudah mengakomodir berbagai tuntutan, dan ini sudah representasi karena populasi warga binaan terlalu banyak sehingga MK (Mahkama Konstitusi) memberikan surat keterangan, tetapi kelemahan ada di sosialisasi dan bagaimana memberikan solusi khusus bagi orang-orang tersebut,” ujarnya, Rabu (17/4/2019).
Pernyataan Anthonius Ayorbaba ini menanggapi ratusan warga binaan Klas IIb Manokwari yang tak bisa menyalurkan hak politiknya pada pencoblosan suara di pemilu serentak 2019.
Harapan Anthonius Ayorbaba, agar semua warga binana bisa memilih nampaknya belum bisa tercapai. Meski berbagai upaya yang dilakukan dengan merujuk pada putusan Mahkama Konstitusi, Surat Keterangan Dirjen Dukcapil, juga berbagai koordinasi pihak Lapas Klas IIb Manokwari maupun Lapas Perempuan, serta pemutakhiran.
“Tapi tidak semua bisa memilih. Kendala teknis ada di Dukcapil, karena mereka tidak bisa memindahkan sistemnya. Katakanlah Dukcapil Manokwari tidak bisa melakukan perekaman e-KTP bagi penduduk yang bukan warga Manokwari,” ujar dia.
Menurut Anthonius Ayorbaba, solusi lain bagi warga binaan sesuai dengan edaran Dirjen, bahwa perekaman e-KTP dapat dilakukan secara luring (luar jaringan) di lapas-lapas dapat dilakukan, baru E-KTP bisa dikirimkan ke kabupaten asal warga binaan, juga tidak maksimal bahkan tidak dapat dilakukan.
“Solusi itu sulit untuk bisa dimaksimalkan karena pekerjaan tersebut di luar dari sistem dan terpisah sehingga lapas maupun rutan mengalami kendala. 10-15 persen warga binaan kita tidak bisa mendapatkan hak politiknya,” tandasnya.
Kepala Lapas Klas IIb Manokwari, Tatang menjelaskan jumlah warga binaan yang ada saat ini mencapai 332 orang. Dari jumlah tersebut hanya 146 warga binaan yang bisa mendapatkan E-KTP. Sedangkan sisanya tidak bisa, karena alamat dari ratusan warga binaan berada di luar Manokwari.
“Ada selisih kan, ada beberapa orang tidak masuk dalam DPT. Ini sebetulnya kita sudah berusaha berkoordinasi sejak awal dengan Dukcapil (Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil). Dukcapil datang untuk merekam, semua warga binaan direkam. Hasilnya ternyata KTP yang dikeluarkan itu cuma 146, waktu itu,” jelas Tatang.
“Jadi masih kurang seratusan lebih. Akhirnya kita koordinasi lagi ke sana (dukcapil) ternyata yang lainnya mereka tidak bisa dikeluarkan KTP karena alamatnya di luar Manokwari,” sambung Tatang.
Menurut Tatang, data ratusan warga binaan tersebut tidak bisa dipindahkan tanpa se-izin dari dukcapil daerah asal warga binaan yang bersangkutan. Ini menjadi salah satu kendala yang mengakibatkan ratusan warga binaan kehilangan hak politiknya.
“Sebenarnya jika warga binaan bisa aktif mengambil data di sana (daerah asal) bisa saja, tetapi warga binaan agak sulit dia lakukan itu sehingga banyaklah yang tidak masuk dalam DPT. Selain itu ada juga yang sudah bebas,” katanya.
Di Lapas Manokwari terdapat 2 TPS (26 dan 27). Selain warga binaan se-tempat, warga binaan dari Lapas Perempuan sebanyak 30 orang, 6 warga binaan Lapas Khusus Anak, serta 9 tahanan Polda Papua Barat juga menyalurkan hak pilihnya di dua TPS tersebut.
Tatang menambakan, pihaknya juga telah berkoordinasi dengan Polres Manokwari terkait tahanan yang akan mengikuti pemilihan di TPS di lingkungan lapas.
“Itu kan hak seseorang. Kita pengamanan sudah ada Linmas 2 orang, petugas lapas juga dihadirkan, yang libur-libur saya suruh masuk semua. Pihak kepolisian yang penugasan di TPS langsung ada serta tambahan pengamanan dari polda,” tutupnya. (RBM)