MANOKWARI, Papuakita.com – Masyarakat asli Papua yang tergabung dalam Forum Masyarakat Papua Peduli PT Freeport (FMPPF) mendesak dilakukan pembagian ulang saham PT Freeport Indonesia (PTFI).
Perundingan itu dimaksud untuk memperjelas kepemilikan saham PT FI yang diberikan kepada orang asli Papua melalui pemerintah provinsi Papua. Sebab dari divestasi saham sebesar 51 persen, 10 persen saham yang akan diberikan ke pemprov Papua dinilai tidak jelas serta tidak adil.
Selain masalah PTFI, FMPPF juga mempersoalkan sejumlah investasi dalam skala besar yang ada di Provinsi Papua Barat, seperti LNG Tangguh di Teluk Bintuni, PT GAG Nikel di Kabupaten Raja Ampat, Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Trambrauw, dan sejumlah investasi lainnya, yang dinilai kurang mengabaikan hak-hak dasar masyarakat adat Papua.
Demikian pernyataan sikap FMPPF yang dibacakan Ketua LMA Kabupaten Teluk Wondama, Jones Werabur sesaat sebelum diserahkan ke DPR Papua Barat dan Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat (MRPB) disela demonstrasi damai dalam rangka perayaan Hari Pribumi Internasional ke-24, yang berlangsung di kantor DPR PB, Kamis (9/8/2018).
“Gubernur Papua dan Papua Barat, DPRP dan DPR PB, MRP dan MRPB segera fasilitasi perundingan ulang. Batas waktu hingga 10 Agustus, jika tidak ditanggapi maka, kami akan mogok massal dan boikit tahapan pemilu di tanah Papua,” katanya.
Selain ancaman pemboikotan tahapan pemilu, FMPPF juga bakal menempuh jalur hukum dengan menyiapkan gugatan hukum yang berlaku secara nasional dan internasional.
“Harus ada perundingan ulang sesuai perintah Undang Undang Otonomi khusus. Kami akan bawa masalah ini sesuai mekanisme internasional terkait hak-hak masyarakat pribumi,” ungkap Jones.
Dikatakan, permasalahan PTFI menjadi pintu masuk untuk meluruskan semua masalah yang muncul terkait investasi di atas tanah Papua, baik di provinsi Papua maupun di provinsi Papua Barat.
“Kontrak karya sejak 1967 sesungguhnya melanggar hukum internasional dan prinsip demokrasi internasional. Sampai saat ini, kejahatan kemanusiaan terus terjadi, Freeport menjadi sumber malapetaka dan bencana di tanah Papua. Investasi-investasi yang ada tidak menempatkan orang asli Papua pada tempatnya,” ujar Jones membacakan pernyataan sikap FMPPF.
Dalam kesempatan itu, massa FMPPF mendesak pengoperasian PTFI dihentikan, bahkan ditutup. Pasalnya, divestasi saham sebesar 51 persen mengabaikan hak-hak dasar orang asli Papua terutama masyarakat suku Kamoro dan Amungme sebagai pemilik ulayat.
“Persoalan PTFI sudah terjadi sejak 1967 hingga saat ini, baik status hukum dan status politiknya. Masalah Freeport menjadi jalan untuk membuka semua masalah investasi yang terjadi di atas tanah Papua,” ungkap Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy.
Sebelumnya, massa FMPPF yang terdiri dari elemen masyarakat asli Papua, pemuda, mahasiswa, aktivis, dan LP3BH melakukan aksi massa dan orasi di depan kantor DPR PB.
Massa diterima Wakil Ketua DPR PB, Robert Manibuy, anggota dewan masing-masing Yonadap Trogea dan Abdu Rumkel serta turut hadir Ketua MRPB, Maxi Nelson Ahoren dan sejumlah anggotanya. Aksi massa ini mendapat pengawalan ketat aparat Kepolisian Polres Manokwari dan Brimob Sat. Brimobda Polda Papua Barat.
Tolak Berdialog
Meski bergabung dalam aksi massa, Gerakan Pemuda, Mahasiswa, dan Rakyat Papua (GEMPAR) Manokwari memutuskan untuk membubarkan diri dari aksi yang tengah berlangsung. Sikap itu lantaran mereka menolak tawaran perwakilan DPR PB dan MRPB untuk berdialog di dalam ruangan.
Wilson Wader, perwakilan GEMPAR mengatakan, meski bergabung tetapi ada dua aspirasi yang akan disampaikan. Akan tetapi sampai akhir waktu mereka tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan aspirasnya.
“Kami merasa dipermainkan. Tuntutan kami jelas, Freeport tutup. Dan berikan kesempatan untuk kami menentukan nasib sendiri. Tidak ada kompromi,” tegas Wilsom Wader yang mengklaim sebagai penanggung jawab aksi. (RBM/R1)