MANOKWARI, PAPUAKITA.com—Mencermati kondisi perekonomian Indonesia khususnya sebagai dampak penyebaran Covid-19, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, Rabu (22/4/2020) menyampaikan tiga hal terkait perkembangan terkini dan kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia.
Adapun perkembangan terkini dan kebijakan Bank Indonesia, Pertama, Inflows investasi portofolio ke Indonesia secara net sebesar Rp1,57 triliun.
Ini berdasarkan data transaksi harian nonresiden, baik dari SBN (surat berharga negara) maupun saham dalam periode 13-20 April 2020, terjadi inflow (arus masuk) asing terhadap SBN sebesar Rp4,37 triliun dan outflow (arus keluar) saham sebesar Rp2,8 triliun, sehingga secara keseluruhan tercatat net inflow sebesar Rp1,57 triliun.
Demikian Perry Warjiyo melalui siaran pers yang diterima melalui Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Papua Barat, Jumat (24/4/2020). Hal tersebut, kata Perry, menunjukkan bahwa secara bertahap kepercayaan kepada Indonesia khususnya dalam investasi portofolio fixed income, berangsur-angsur mengalami kenaikan.
Kondisi ini didorong oleh antara lain, imbal hasil investasi portofolio dalam bentuk SBN cukup menarik, diukur dari beberapa indikator, antara lain yield spread sebesar 7,1% atau, 713 bps antara obligasi Pemerintah Indonesia 10 tahun dengan US treasury 10 tahun dan yield secara riil sebesar 4,6%, lebih tinggi dibandingkan dengan India, Meksiko dan negara asia lainnya.
Indikator premi risiko yaitu indeks volatilitas pasar keuangan (VIX) sebelum Covid-19 berada pada level 18,8, pada saat puncak yaitu sekitar minggu II-III Maret 2020 pada level 83,2 dan data terakhir menunjukkan VIX pada level 43,8, artinya kepanikan pasar keuangan global berangsur-angsur mereda.
Ke depan, lanjut Perry, dengan perbedaan suku bunga tinggi dan premi risiko yang berangsur-angsur membaik serta langkah-langkah kebijakan BI, pemerintah dan otoritas terkait akan meningkatkan daya tarik investasi portofolio di Indonesia dan mendukung stabilitas nilai tukar Rupiah.
Secara historis periode 2011–2019 di Indonesia, outflow relatif kecil dalam periode yang pendek dan diikuti dengan inflow yang besar dalam peiode yang panjang. Data menunjukkan rata-rata outflow sebesar Rp29,2 triliun dengan durasinya sekitar 3-4 bulan dan diikuti inflow sebesar Rp229,1 triliun dengan durasi sekitar 21 bulan.
Kedua, Nilai tukar Rupiah bergerak stabil dan cenderung menguat mengarah ke Rp15.000 pada akhir tahun. Menurut Perry, pergerakan nilai tukar Rupiah dipengaruhi 2 faktor, yaitu faktor fundamental dan faktor teknikal.
Faktor fundamental akan memengaruhi arah pergerakan nilai tukar Rupiah. Secara fundamental, nilai tukar Rupiah masih undervalued (nilainya lebih rendah) didukung oleh inflasi yang rendah dan terkendali dalam kisaran sasaran 3±1%, defisit transaksi berjalan Triwulan I akan lebih rendah dari 1,5% PDB dan secara keseluruhan pada tahun 2020 akan lebih rendah dari 2% PDB, serta langkah-langkah kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia, pemerintah dan otoritas terkait termasuk stimulus fiskal dan moneter yang memperkuat kepercayaan kepada Indonesia.
Faktor teknikal akan memengaruhi pergerakan nilai tukar Rupiah dari hari ke hari. Pengaruhnya terhadap pergerakan nilai tukar Rupiah antara lain dari sisi global yaitu harga minyak turun, perselisihan Rusia dan Arab Saudi, dan faktor geopilitik, seperti isu Korea Utara, pembukaan lockdown AS, dan sisi domestik seperti langkah penanganan COVID-19, termasuk penerapan PSBB di Indonesia.
Selain itu, pergerakan indeks harga saham di Indonesia mulai tidak selalu mengikuti indeks harga saham global. Perry Warijo menyatakan, hal tersebut menunjukan investor mulai memberikan perhatian yang positif terhadap Indonesia.
Ketiga, inflasi terkendali dan rendah. Ini berdasarkan Survei Pemantauan Harga (SPH) yang dilakukan oleh Bank Indonesia bersama 46 Kantor Perwakilan Bank Indonesia sampai dengan minggu ketiga April 2020, menunjukan bahwa harga-harga di pasar terkendali dan rendah.
Inflasi bulan April 2020 diprakirakan sekitar 0,22% (mtm) atau 2,82% (yoy). Komoditas penyumbang inflasi yaitu bawang merah, emas perhiasan, dan gula pasir. Sementara itu, komoditas penyumbang deflasi yaitu cabai merah, daging ayam dan telur.
“Inflasi pada saat Ramadhan dan Idul Fitri diprakirakan akan lebih rendah dari historis, dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu April dan Mei merupakan masa panen, sehingga pasokan untuk komoditas pokok cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Permintaan juga akan lebih rendah, dipengaruhi oleh pandemi Covid-19 yang menyebabkan aktivitas manusia yang lebih rendah terkait pembatasan mobilitas, PSBB dan lain sebagainya,” jelas Perry.
“Terkendalinya ekspektasi inflasi. Langkah-langkah kebijakan yang ditempuh dalam mengendalikan inflasi. Bank Indonesia meyakini sampai dengan akhir tahun 2020, inflasi akan terkendali di kisaran sasaran 3±1%,” sambungnya.
Penilaian lembaga rating Standard and Poor’s (S&P) yang merevisi outlook menjadi negatif terhadap Indonesia pada 17 April 2020 lalu, mencerminkan ekspektasi S&P bahwa dalam beberapa waktu ke depan Indonesia menghadapi kenaikan risiko eksternal dan fiskal akibat meningkatnya kewajiban luar negeri dan beban utang pemerintah untuk membiayai penanganan Pandemi COVID-19.
Terkait hal ini, Bank Indonesia melihat bahwa kondisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia masih aman, terkendali serta produktif. Posisi ULN Indonesia pada akhir Februari 2020 sebesar 407,5 miliar dolar AS, terdiri dari ULN sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar 203,3 miliar dolar AS dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 204,2 miliar dolar AS.
Pengelolaan ULN di Indonesia dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian, baik ULN Pemerintah maupun Swasta, bahkan untuk swasta, terdapat peraturan Bank Indonesia mewajibkan melakukan manajemen risiko secara prudent, seperti hedging dan minimum rating.
Sementara itu, rencana Pemerintah menerbitkan SBN untuk pemulihan ekonomi maupun pembiayaan defisit fiskal akibat penanganan pandemi COVID-19 akan menaikkan jumlah SBN yang diterbitkan. Namun, perlu dipahami adanya outflow SBN pada tahun ini yang menurunkan kepemilikan asing dari sekitar 40% menjadi sekitar 32%. Di sisi lain, kepemilikan SBN oleh Bank Indonesia meningkat.
“Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi ini dengan pemerintah dan OJK untuk memonitor secara cermat dinamika penyebaran COVID-19 dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia dari waktu ke waktu, serta langkah-langkah koordinasi kebijakan lanjutan yang perlu ditempuh untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap baik dan berdaya tahan,” tutup Perry. (*/ARF)