MANOKWARI, Papuakita.com – Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Provinsi Papua dan Papua Barat dengan tegas menolak pengesahan Rancangan Undang Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ditetapkan menjadi Undang Undang (UU).
Penolakan itu akan disampaikan secara bersama masing-masing oleh Ketua FKUB provinsi Papua, Pdt. Lipiyus Biniluk dan Ketua FKUB provinsi Papua Barat, Pdt. Sadrak Symbiak usia Seminar/Tukar Pengalaman FKUB dalam membangun kerukunan beragama untuk Papua tanah damai, digelar di Manokwari, Kamis (8/11/2018).
“Kami menolak Rancangan Undang Undang pesantren dan pendidikan keagamaan, khususnya hubungan dengan sekolah minggu dan katekisasi. Urusan internal agama sebernarnya pemerintah tidak boleh intervensi. Jadi kami sangat menolak dengan tegas itu.
“Diharapkan tidak boleh masuk dalam Undang Undang ke depan. Jadi pemerintah pusat harus dengarkan ini, dampaknya kurang baik ke depan dari pada mereka masukan itu,” ujar Lipiyus.
Menurut Lipiyus, penolakan RUU tersebut juga telah dibahas sebelumnya bersama pemerintah Provinsi Papua. Dari hasil pembahasan itu lahir juga sejumlah rekomendasi. Rekomendasi tersebut akan disampaikan ke Presiden Joko Widodo dan Komisi VIII DPR RI.
Sebelum menyerahkan rekomendasi, baik hasil pembahasan FKUB provinsi Papua bersama pemerintah provinsi Papua maupun hasil pembahasan dengan FKUB provinsi Papua Barat. FKUB menjadwalkan mengundang Komisi VIII DPR RI untuk datang ke Jayapura, Papua, guna menjelaskan maksud dan tujuan penyuasunan RUU pesantren dan pendidikan keagamaan.
Dia menegaskan, penyusunan dan pembahasan RUU pesantren dan pendidikan keagamaan tidak akomodatif. Ruang partisipasi yang disediakan bagi kalangan agama untuk menyampaikan gagasan atau konsep tidak ada.
Dia menilai, penetapan RUU pesantren dan pendidikan keagamaan menjadi Undang Undang justru akan menimbulkan kontradiktif dengan nilai-nilai pluralisme di Indonesia serta dapat menimbulkan gesekan di tengah-tengah masyarakat.
“Menolak dengan tegas. Sekolah minggu, katekisasi itu bagian dari ibadah, bukan sekolah seperti yang mereka pikirkan,” ujarnya.
Lipiyus menambahkan, penyusunan suatu Undang Undang yang berhubungan dengan agama tertentu idealnya mengundang agama tertentu, untuk mereka terlibat dalam proses.
“Undang mereka biar terlibat dalam atur Undang Undang, tapi saya lihat tidak ada sama sekali. Begitu dibuat, langsung. Saya lihat ini bahaya sekali, pro kontranya besar sekali,” tukasnya. (RBM)