MANOKWARI, PAPUAKITA.com—Tuntutan pidana belasan tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum kepada ke tujuh tahanan politik Papua dengan pasal makar dalam aksi unjuk rasa di Kota Jayapura, Papua, Agustus 2019 lalu buntut tindakan rasisme terhadap mahasiswa asal Papua di Surabaya, Jawa Timur.
Ketum PP GMKI Korneles Galanjinjinay menilai, negara gagal paham dalam penegakkan hukum terhadap ketua BEM Uncen dan mahasiswa (tahanan politik Papua).
“Seharusnya bukan pasal makar yang digunakan untuk menuntut mereka, karena tidak ada tindakan menyerang atau upayakan membunuh kepala negara atau tindakan memisahkan sebagian wilayah negara atau mempersiapkan serangan untuk menggulingkan pemerintahan,” ujar Korneles melalui siaran pers yang diterima, Senin (15/6/2020).
Kata Korneles, penegak hukum agar tidak membabibuta mengunakan pasal makar kepada aktivis mahasiswa pejuang keadilan dan diskriminasi.
“Sesungguhnya yang diperjuangan ketua BEM Uncen dan mahasiswa tapol Papua adalah aksi demonstrasi biasa sebagaimana yang terjadi dan sering dilakukan oleh aktivis mahasiswa di Indonesia untuk menyuarakan keadilan dan diskriminasi atas tindakan rasisme yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya,” ujarnya.
“Penegak hukum perlu mempertimbangkan sebab musababnya aksi demostrasi yang dilakukan ketua BEM Uncen dan mahasiswa tapol Papua. Kami melihat ada kriminalisasi Ketua BEM Uncen dan mahasiswa tapol Papua dalam aksi rasisme di Surabaya. Penegak hukum sengaja untuk mendiamkan suara keadilan dari Papua,” sambung Korneles.
Korneles menyayangkan tindakan penegak hukum yang tidak sebanding dengan negara yang menganut paham demokrasi. Dirinya menilai, Indonesia adalah negara demokrasi maka aksi yang dilakukan tersebut adalah bagian dari kebebasan menyampaikan pendapat sebagaimana amanat Pasal 28 UUD 1945 dan UU No 09 1998.
Sebaliknya justru Indonesia ibarat negara otoritarian-totalitarian karena tindakan penegak hukum tidak sama sekali mempertimbangkan nilai-nilai demokrasi yang adalah prinsip berbangsa dan bernegara di Bumi Pancasila.
“Melihat tindakan penegak hukum atas tuntutan yang tidak adil dan diskriminasi kepada ketua BEM Uncen dan mahasiswa Tapol Papua, maka kami mendesak Presiden Joko Widodo untuk turun tangan langsung membebaskan ketua BEM Uncen dan kawan-kawannya,” ucap Korneles.
Korneles menambahkan, mahasiswa adalah kontrol sosial, agen perubahan, mahasiswa adalah penegak moral, dan mahasiswa adalah penyambung lidah rakyat. Oleh karna itu, Presiden jangan takut dengan aksi-aski Mahasiswa.
“Sesungguhnya yang mahasiswa perjuangkan adalah keadilan, kebenaran, kesejahteraan, kemakmuran rakyat dan bangsa Indonesia. Oleh karenanya kami meminta pak Presiden tindak tegas penegak hukum yang diskriminasi dan kriminalisasi aktivis mahasiswa, sebagaimana yang dialami ketua BEM Uncen Dan mahasiswa Tapol Papua,” tutupnya. (*/ARF)