LP3BH Manokwari: Presiden Seakan “Buta” Tindakan Penembakan Rakyat Sipil di Tanah Papua

MANOKWARI, PAPUAKITA.COM—Dalam tiga bulan belakangan ini tercatat sedikitnya 11 warga sipil (orang asli Papua), meregang nyawa diduga akibat tindakan brutal aparat Polri dan TNI.

Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy menyatakan, meski demikian, Presiden Joko Widodo seakan “buta” sampai tidak mampu melihat tindakan melanggar hukum dan tidak berperikemanusiaan itu.

HAM
Direktur LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy. Foto : ADL

“Tercatat pada bulan April 2019, 3 warga sipil mengalami luka tembak di Jayapura, yaitu Apner Kaigere, Andi Hengga, dan Niko Kaigere. Pelakunya diduga keras oknum polisi,” tulis Warinussy melalui keterangan tertulis yang diterima redaksi papuakita.com, Minggu malam (9/6/2019).

“Kemudian, bulan Mei di Deiyai, 2 orang warga sipil tertembak oleh oknum anggota polisi. Korban diantaranya tewas, yaitu Yulianus Mote. Korban lain bernama Melianus Dogopia mengalami luka tembak,” sambung Warinussy.

Di samping itu, Warinussy membeberkan, akibat amukan oknum anggota TNI di Asmat, Papua, 4 warga sipil tewas, masing-masing Xaverius Sai, Nikolaus Tupa, Matias Amunep, dan Fredrikus Inepi. Ia menjelaskan, satu orang warga lain bernama Jhon Talai mengalami luka parah pada salah satu lengan tangannya dan harus diamputasi.

“Di awal bulan Juni ini seorang oknum polisi menembak mati seorang warga sipil di Merauke atas nama Yohanes Moiwend. Kekejaman aparat keamanan tersebut sama sekali luput dari perhatian Presiden Jokowi yang terlampau sibuk sebelum dan sesudah pemilu 2019,” sebut Warinussy.

Menurut Warinussy, tidak nampak adanya langkah serius dalam proses penegakan hukum keempat peristiwa tersebut. Celakanya, di Deiyai, pelakunya konon hanya dihukum ‘minta maaf’. Kondisi itu benar-benar menjadi langkah yang jelas-jelas menyuburkan impunitas bagi para oknum aparat keamanan dari jamanan hukum yang berlaku.

Lihat juga  LP3BH: Kunker Presiden ke Tanah Papua Harus Sentuh ‘Akar Masalah’

Selain itu, disoroti juga, kasus jual-beli amunisi yang diduga keras sering kali melibatkan aparat keamanan di wilayah Pegunungan Tengah Papua, rakyat sipil yang diduga terlibat sering kali dijatuhi pidana berdasarkan ketentuan UU Nomor 1 Darurat 1951.

Dalam kasus dugaan pidana pembakaran Kantor Polsek Pirime, Puncak, terdakwa Yogor Telenggen alias Kartu Kuning Yoman pernah dipidana seumur hidup.

“Penegakan hukum dalam kasus-kasus dugaan kejahatan di Tanah Papua dengan pelakunya dari Polri maupun TNI senantiasa lemah dan tidak memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Padahal aturan hukumnya sudah ada seperti KUH Pidana,” jelasnya.

Bahkan, tegas Warinussy, jika terdapat indikasi pelanggaran HAM, maka ada UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Meski demikian, komitmen negara melalui presiden selaku kepala negara menjadi tak jelas dan senantiasa memberi impunitas bagi para terduga kejahatan kemanusiaan tersebut.

“Berkenaan dengan itu saya mendesak peran GKI Di Tanah Papua, Gereja Katolik, GIDI, Kingmi Papua dan PGBP, untuk segera memberi laporan dugaan pelanggaran HAM yang termasa kepada PBB melalui saluran masing-masing,” tulis Warinussy lagi.

Warinussy menambahkan, upaya itu penting bagi perumusan langkah penyelesaian damai atas dugaan kejahatan kemanusiaan terhadap rakyat sipil asli Papua yang telah berlangsung lebih dari 50 tahun terakhir di tanah Papua karena tindakan aparat Polri dan TNI. (*/RBM)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *