MANOKWARI, PAPUAKITA.COM— Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, bekerjasama dengan Yayasan Tifa menyelenggarakan workshop “Mendorong Penyelesaian Konflik Dengan Pendekatan Dialog”, dimulai Jumat 31 Mei dan akan berakhir pada 1 Juni.
Kegiatan ini merupakan tahap kedua dari program kerja LP3BH Manokwari dalam tahun 2019 dengan teman besar “Monitoring Hak Asasi Manusia dan Perdamaian di Papua Barat. Sementara kegiatan/proyek berjudul : “Mendorong Penegakan Hukum dalam rangka Menciptakan Papua Barat sebagai Zona Damai”.
Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy, Jumat menyatakan, upaya penyelesaian konflik sosial politik yang telah berlangsung lebih dari 50 tahun, ini sesungguhnya dimulai sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2001.
Menurut Warinussy, upaya itu ditandai dengan dialog nasional, saat Tim 100 yang difasilitasi oleh Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian Jaya (Foreri) bertemu dengan Presiden B.J. Habibie di Istana Negara, Jakarta pada 26 Februari 1999 silam.
“Tindak lanjutnya diselenggarakan Musyawarah Besar (Mubes) rakyat Papua 1999. Dan dilanjutkan dengan Kongres Papua II, 29 Mei hingga 4 Juni 2000 di Jayapura, Papua,” jelas Warinussy.
Kongres Papua II tersebut lebih fokus pada membahas dan mendorong penyelesaian konflik melalui agenda pelurusan sejarah, ini kemudian mengilhami lahirnya rumusan langkah-langkah penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu, melalui jalan pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi.
“Hal tersebut kemudian dirumuskan dalam amanat pasal 46 UU RI Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua. Sehingga melalui penyelenggaraan workshop ini diharapkan bisa didorong inisiatif rakyat untuk memulai langkah pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) tersebut di Tanah Papua,” kata Warinussy.
Berksempatan hadir dalam workshop tersebut, Prof. Dr. Melkias Hetharia, S.Th, MH, dosen pengajar di Fakuktas Hukum Universitas Cenderawasih, Papua, dengan materi “Penyelesaian konflik masa lalu melalui KKR menurut UU Otsus Papua”.
Juga hadir, Dr. Ir. Agus Sumule, dekan Fakultas Pertanian Universitas Papua, Manokwari, dengan materi agenda pelurusan sejarah dalam Kongres Papua II Tahun 2000 sebagai jalan penyelesaian konflik di Tanah Papua.
Prof. Melkias Hetharia mengatakan, sudah 19 tahun lamanya upaya menghadirkan KKR belum jalan, padahal jelas diamanatkan di dalam UU Otus pasal 46.
“Lebih kurang ada 21 kewenangan KKR. Suatu kewenangan yang luar biasa yang dimiliki untuk selesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. KKR harus diisi oleh orang-orang yang punya kemampuan yang mumpuni,” katanya.
Dr. Agus Sumule menambahkan, ada empat (4) hal yang harus dilakukan, yakni memverifikasi kebenaran, jaminan perlindungan bagi pengungkap data, dan pelibatan orang-orang yang sudah terlatih, serta memastikan (pelanggaran) yang terjadi bisa dimengerti oleh para korban.
“Kalau kita memilih jalan damai, kita harus siap melalui episode-episode yang berat. Tidak akan pernah ada rekonsiliasi kalau kebenarannya tidak diungkap,” pungkasnya. (RBM)