MANOKWARI, PAPUAKITA.com—Studi Hiu Paus (Walk Shark) di Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) telah dilaksanakan sejak Mei 2011. Di mana, sebanyak 14 penanda satelit atau satellite tag telah dipasang pada 14 ekor hiu paus untuk memetakan pergerakan horizontal dan vertikalnya.
Data Balai Besar TNTC tahun 2019 tercatat 179 ekor hiu paus sudah diidentifikasi melalui photo identification atau photo id. Sampel jaringan untuk studi genetika juga telah diambil sejak november 2012, dan sebagian telah dianalisa dengan metode mtDNA.
Technical Leatherback Conservation Management Coordinator WAF-Indonesia Program Papua, Hadi Ferdinandus mengatakan, studi mengenai kajian ekologis pakan alami hiu paus dan faktor oseanografinya, serta analisa kesesuaian, daya dukung lingkungan, dan valuasi ekonomi kegiatan wisata hiu paus telah dilaksanakan sebagai rekomendasi untuk mengelola kegiatan perikanan (bagan) dan wisata yang turut mempengaruhi keberadaan hiu paus di TNTC.
“Berangkat dari pengalaman panjang TNTC sebagai kawasan taman nasional dengan hiu paus sebagai spesies ikoniknya, kementerian lingkungan hidup dan kehutanan (KLHK) pada 2017 melalui Direktorat Jenderal Koservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) telah menetapkan TNTC sebagai role model pengelolaan hiu paus di Indonesia,” kata Hadi melalui siaran pers yang diterima, Rabu (11/12/2019).
Hiu paus yang merupakan ikan terbesar di dunai ditemukan di beberapa lokasi, seperti di perairan Sabang, Pantai Utara Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, Alor, Flores, Kalimatan, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) merupakan lokasi di mana hiu paus muncul sepanjang tahun//ikan yang akrab dipanggil “gurano bintang” oleh masyarakat lokal papua sudah menjadi spesies ikonik untuk TNTC.
Publikasi hasil studi, lanjut Hadi, akan dilakukan melalui kegiatan semiloka pada Kamis (12/12/2019) besok, diselenggarakan atas kerja sama Balai Besar TN Teluk Cenderawasih dengan mitra. Menurut Hadi, melalui kegiatan semiloka tersebut akan memberikan pemaparan hasil penelitian mengenai hiu paus dan habitatnya.
“Hasil studi dari pengelolaan hiu paus ini diantaranya berupa status kemunculan individu hiu paus, sebaran dan pola pergerakan hiu paus, keragaman genetik hiu paus, faktor oseanografi yang mempengaruhi kemunculan hiu paus, kajian ekologis pakan hiu paus dan berbagai studi pendukung lainnya di TN Teluk Cenderawasih,” bebernya.
Menurut hadi ferdinandus, hasil studi ini perlu disampaikan ke publik agar dapat menjadi pembelajaran bersama untuk pengelolaan konservasi hiu paus di berbagai lokasi lainnya dan menjadi dasar acuan dalam menentukan kebijakan pengelolaan hiu paus di indonesia/khususnya di taman nasional Teluk Cenderawasih.
Kegiatan semiloka, juga akan dirangkai dengan peluncuran dua buku, yaitu buku tentang hasil penelitian hiu paus di Taman Nasional Teluk Cendrawasih (edisi kedua) yang merupakan hasil kerja sama Balai Besar TNTC, Unipa, dan WWF-Indonesia.
Adapun buku yang kedua yaitu meretas ekowisata berbasis konservasi tradisional di taman nasional Teluk Cendrawasih yang dikeluarkan oleh balai besar TNTC.
“Dengan diterbitkannya buku ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan kontribusi bagi pengelolaan di taman nasional Teluk Cendrawasih di Papua,” tutupnya. (*/ARF)