PT APIU Diduga Serobot Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Teluk Bintuni

MANOKWARI, Papuakita.com – Perusahaan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) PT Agro Papua Inti Utama (APIU) diduga menyerobot kawasan hutan lindung di Kampung Barma Barat, Distrik Meyado dan distrik Moskona Selatan, Kabupaten Teluk Bintuni.

Dugaan penyerobotan ke dalam kawasan lindung tersebut terkait  dengan pembukaan hutan sekunder pada wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan lindung dalam RTRW Provinsi Papua Barat dan Kabupaten (Teluk Bintuni).

Koordinator Data dan Advokasi Panah Papua, Aloysius Entama mengatakan, periode Februari – Oktober 2018, PT APIU telah membuka hutan sekunder yang luasnya diperkirakan mencapai 616 hektar di areal yang disebut sebagai Barma Estate.

“Di dalamnya terdapat kawasan resapan air seluas kurang lebih 399 hektar dan kawasan bergambut seluas kurang lebih 96 hektar. Khusus untuk gambut, PT APIU juga telah melakukan pembukaan hutan di atas kesatuan hidrologi gambut (KHG) seluas kurang lebih 133 hektar. Peta ini berdasarkan hasil tumpang susun peta KHG KemenLHK dan Citra Sentinel,” kata Aloysius, Sabtu (17/11/2018).

Lokasi kerja PT APIU bekerja pada area konsesi sawit milik PT Subur Karunia Raya (PT SKR), berdasarkan Ijin IPK yang diterbitkan oleh Dinas Kehutanan melalui SK Nomor 522.2/548/DISHUT-PB/SK.IPK/10/2017. Berdasarkan laporan ‘Hitung Mundur Terakhir’ dari Greenpeace (2018), PT SKR terhubung dengan Salim Grup.

Mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi Nomor 4 Tahun 2013 tentang RTRW Provinsi Papua Barat terdapat kawasan resapan air seluas kurang lebih 750 ribu hektar dan kawasan bergambut seluas kurang lebih 570 ribu hektar yang tersebar di Provinsi Papua Barat.  Dari luasan tersebut, sekira kurang lebih 11.120 hektar kawasan resapan air dan kurang lebih  404 hektar kawasan bergambut berada di dalam konsesi PT SKR.

Lihat juga  Pemda Teluk Bintuni Terima Alkes Penanggulangan Covid19 dari SKK Migas dan Genting Oil
Hasil pengamatan citra satelit Sentinel terkait indikasi pembukaan hutan untuk jalan di dalam kawasan hutan oleh PT APIU. Gambar dipublikasikan oleh Perkumpulan Panah Papua.

Aloysius menambahkan, selain di dalam RTRW provinsi Papua Barat, PT APIU juga terindikasi melanggar kebijakan RTRW kabupaten Teluk Bintuni sesuai Perda Nomor 4 Tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Teluk Bintuni.

Di mana, memuat beberapa kawasan lindung, salah satunya adalah kawasan rawan banjir. “Kurang lebih 616 hektar pembukaan hutan sekunder yang telah dibuka terdapat sekira 602 hektar kawasan rawan terhadap banjir. Tentunya  pembukaan hutan tersebut akan berdampak pada kampung yang berada di sekitar kawasan barma estate, seperti kampung Barma Barat, Yakora dan Arandai,” beber Aloysius.

Ketua Perkumpulan Panah Papua, Sulfianto Alias mengatakan, pemerintah Provinsi Papua Barat telah berkomitmen menetapkan 70 persen kawasan lindung dalam revisi RTRWP Papua Barat. Dia menegaskan, Permen ATR Nomor 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara Peninjauan Kembali RTRW, pelanggaran terhadap tata ruang tidak dapat diputihkan,

“Hal ini berarti dalam proses revisi RTRW, tidak ada kompromi terhadap pelanggaran ini. Pemerintah harus tegas untuk mempertahanan kawasan lindung untuk mendukung komitmen Papua Barat sebagai Provinsi konservasi,” ujarnya.

Berdasarkan pengamatan citra satelit Sentinel, Panah Papua menemukan adanya dugaan pembuatan jalan di luar areal konsesi PT SKR dan masuk dalam kawasan hutan.

Menurut Sulfianto Alias, jalan tersebut dibangun oleh perusahaan IPK dan tersambung dengan logpond yang terletak di Sungai Sebyar. “Informasi dari Kepala Kampung Barma, Yunus Boho, bahwa jalan tersebut dibangun oleh perusahaan.

“Belum diketahui secara pasti apakah pembuatan jalan di dalam kawasan hutan tersebut telah memiliki ijin pinjam pakai kawasan hutan atau tidak. Kami berharap pemerintah daerah provinsi yang membidangi kehutanan bisa memberikan klarifikasi terkait ini. Jika terdapat pelanggaran, harap dilakukan peninjauan kembali terkait Ijin PT APIU,” tuturnya.

Lihat juga  Hasil Studi Hiu Paus di TN Teluk Cenderawasih Segera Dipublikasi

Perlu diketahui, pedagang dan merek yang mengambil minyak sawit dari Grup Salim merupakan pedagang dan merek yang telah menerapkan komitmen ‘tidak melakukan deforestasi, tidak mengonversi gambut, tanpa mengeksploitasi manusia’ (NDPE).

Untuk itu, Sulfianto Alias berharap, pedagang dan merek tersebut tetap berkomitmen tidak membeli minyak sawit yang dihasilkan dari deforestasi hutan sekunder dan gambut, salah satunya milik PT SKR

Kata dia, masyarakat adat telah berkomitmen tidak menyerahkan tanah dan hutan mereka kepada PT  SKR. “Kami cadangkan untuk anak cucu ke depannya. Kami lebih memilih mengelola hutan kami sendiri melalui pengelolaan hutan adat,” ujar Sulfianto mengulang pernyataan Yunus Boho.

“Pembukaaan hutan untuk perkebunan sawit di kampung Barma barat seharusnya didahului oleh adanya penerbitan peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat di Kabupaten Teluk Bintuni,” ujar Sulfianto mengutip perketaan Ketua Himpunan Pemuda Moskona, Samuel Orocomna.

Dia menambahkan, tanpa adanya penerbitan peraturan daerah tersebut, perkebunan sawit tidak bisa masuk operasi. Selain peraturan, harus ada kesepakatan pemilik hak ulayat apakah mendukung perkebunan sawit atau tidak. (RBM)

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *