JAKARTA, PAPUAKITA.com—Beberapa indikator tata laksana pelayanan publik yang diinginkan rakyat adalah pelayanan yang lebih cepat, lebih pintar, lebih murah, lebih mudah, dan lebih baik.
“Kalau mau memperbaiki cara-cara melayani rakyat, tata caranya ingin diperbaiki, ya, tanya kepada rakyat, rakyat mau dilayani dengan cara yang bagaimana, baru nanti tata laksananya dibuat,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Suhajar Diantoro melalui siaran pers yang diterima PAPUAKITA.com, Kamis (2/3/2023).
Penegasana Suhajar ini disampaikan pada Rapat Koordinasi dan Sinkronisasi Ketatalaksanaan Pemerintah Daerah Tahun 2023, di Jakarta, Rabu.
“Tata laksana surat menyurat, tanda tangan menandatangani dibuat, tapi harus berorientasi pada kehendak rakyat yang dilayani,” tambah Suhajar.
Tata laksana atau aturan-aturan dalam pemberian pelayanan masyarakat mesti dipermudah, dari urusan yang sederhana semisal surat menyurat, hingga urusan yang kompleks seperti reformasi birokrasi.
Suhajar menyebut, ada tiga tumpuan utama yang menjadi dasar area perubahan. Tiga hal itu terdiri atas organisasi, sumber daya manusia (SDM), dan tata laksana.
“Tungku utamanya ada tiga ini, karena kalau tiga ini tidak bergerak yang lain juga tidak bergerak. Akuntabel kuncinya di SDM, SDM-nya. BerAKHLAK budaya kerjanya atau tidak, kalau tidak ya, berarti tidak akuntabel,” tuturnya.
Dia menegaskan, hal terpenting bagi rakyat adalah bagaimana aparatur memberikan pelayanan yang baik. Apa lagi di era yang didominasi oleh generasi mileneal dan generasi Z hari ini, rakyat tak mempersoalkan terkait “pakaian” atau simbol-simbol seragam, melainkan pada bagaimana aparatur negara bisa memberikan pelayanan sebagaimana yang rakyat inginkan.
“Apa persepsi rakyat terhadap pakaian kita, persepsi rakyat terhadap pakaian camat, terhadap pegawai kantor lurah, dan sebagainya, karena sesungguhnya menurut saya rakyat tidak pernah mempersoalkan pakaian kita, tapi rakyat harus bahagia,” ujarnya.
Berkaca pada sejarah reformasi tahun 1998, Suhajar menyebut kemarahan masyarakat saat itu sejatinya muncul karena mereka tak terlayani dengan baik. Masa tersebut menjadi koreksi total aparatur terkait pelayanan yang diberikan.
Rakyat marah terhadap golongan yang berseragam karena rakyat tidak puas terhadap pelayanan yang diberikan.
“Terkoreksilah keseluruhan birokrasi ini termasuk pakaiannya, tapi saya mendalami menurut saya rakyat tidak mempersoalkan pakaian kita, tapi mendalami apakah pelayanan yang kita berikan itu sudah memuaskan dia. Berikan layanan yang baik kepada rakyat,” tutup.
Demi tercapainya pelayanan publik yang baik, Suhahar mendorong para pemimpin atau aparatur negara memiliki kualitas Asta Brata atau delapan kebijaksanaan yang menjadi sumber nilai-nilai kepemimpinan.
Adapaun kedelapan kebijaksanaan meliputi, pemimpin atau aparatur negara harus meniru sifat-sifat mulia dari alam, yaitu surya (adil jujur dan arif), chandra (teduh menentramkan dan penuh kasih), kartika (pemberi arah), awan (mengayomi), bumi (teguh kokoh dan bersahaja), samudra (berpandangan luas), api (penuh semangat), dan bayu (menenangkan dan terbuka).
“Jadi pegawai negeri dan pemimpin itu harus meniru sifat air, turun ke bawah. Maka pada saat turun ke bawah akan menemui stunting, ibu-ibu hamil yang kurang mampu, orang-orang miskin,” pungkasnya. (*)