OPTIMASI PERAN GURU KELAS DI SEKOLAH DASAR

(Permasalahan dan Solusi terhadap Kebutuhan Guru BK di SD)

Oleh :

Siti F. Zahra, S.Sos., M.Pd, Staff Pengajar STKIP Muhammadiyah, Manokwari

Mencermati tema hari guru tahun ini yaitu “PERAN STRATEGIS GURU DALAM MEWUJUDKAN SDM INDONESIA UNGGUL”, menjadikan kata “unggul” serta kalimat “peran strategis guru” menjadi penekanannya. Apa sebenarnya maksud kata unggul dalam kalimat tersebut serta bagaimana peran strategis guru dapat di jalankan.

Dalam konteks pendidikan, kata unggul berhubungan dengan kualitas output lulusan sekolah, yang seharusnya tidak saja hanya diukur semata dari tingginya nilai mata pelajaran di kelas, tetapi juga secara moral dan mental juga harus baik.

Siti F. Zahra

Mengukur kualitas keberhasilan proses pembelajaran siswa hanya dari nilai mata pelajaran pada akhir semester tidaklah lengkap, bahkan dapat menjadi boomerang saat standar tersebut selalu dijadikan acuan. Melihat kualitas moral dan mental peserta didik sebagai standar keberhasilan proses pendidikan adalah sama penting dengan standar keberhasilan pencapaian nilai akademiknya.

Idealnya kecerdasan emosi  berkembang secara liniear dengan tingkat kecerdasan kognitifnya. Namun ada banyak situasi yang tidak menggambarkan kondisi ideal tersebut.

Banyak peristiwa yang terjadi di dunia pendidikan, mulai dari peserta didik yang bertindak agresif  (menyerang sehingga menyebabkan kematian) terhadap guru yang menegurnya karena merokok di sekolah, ataupun peserta didik yang memilih mengakhiri hidupnya karena persoalan dengan teman-temannya di sekolah (selalulu di bully), serta masih banyak lagi. Hal ini tentu saja bukan semata karena sebab tunggal, ada banyak rentetan peristiwa sebelum peristiwa itu terjadi, yang membentuk pribadi dan karakter peserta didik tersebut.

Bisa jadi peristiwa pahit yang terjadi pada saat peserta didik sedang mengenyam pendidikan di sekolah lanjut, seperti SMP ataupun SMA, adalah peristiwa yang akar masalahnya sudah ada sejak ia sedang duduk di bangku pendidikan dasar (SD) dan tidak terselesaikan dengan baik.

Permasalahan peserta didik akan terus ada menyertai perkembangan peserta didik itu sendiri. Strategi penanganan masalahnyapun harus berkesinambungan, terpadu dan komprehensif. Tujuannya agar peserta didik dapat terbentuk menjadi manusia yang utuh secara fisik dan  mental psikologisnya, serta adaptif terhadap lingkungan dimana ia berada (Wiyani & Irham, 2014).

Permasalahan-permasalahan psikologis yang tidak selesai, akan terakumulasi dan mengendap di benak pikiran peserta didik, dan pada satu titik, akan terwujud dalam bentuk tindakan negatif yang bisa saja tidak hanya membahayakan diri sendiri tetapi juga membahayakan orang yang ada disekitarnya. Dalam kondisi seperti ini peserta didik sangat memerlukan perhatian khusus baik dari orang tua maupun guru di sekolah.

Inilah yang menjadi pekerjaan berat bagi guru di sekolah. Oleh karena itu di sekolah harus terjalin kerjasama yang baik antara perangkat di sekolah, mulai kepala sekolah, guru-guru di kelas, guru mata pelajaran, dan guru Bimbingan dan Konseling atau guru BK. Disinilah peran strategis guru sangat menentukan keberhasilan sebuah proses pendidikan.

Komponen bimbingan dan konseling mutlak ada di sekolah sebagai salah satu unsur penting dalam membantu peserta didik melewati masa perkembangannya, karena masalah peserta didik tidak melulu hanya menyangkut pembelajaran di kelas, tetapi juga dapat menyangkut masalah psikologis yang menyertai perkembangan dan pertumbuhannya. Tidak terkecuali pada tahap pendidikan dasar, dimana pada masa ini peserta didik berada pada tahap perkembangan yang sangat pesat baik fisik maupun mentalnya.

Usia SD yang rata-rata dimulai pada usia 6 tahun, yang dalam teori Hurlock disebut masa kanak-kanak (late childhood) yang berlangsung dari usia 6 tahun sampai tiba saat individu menjadi matang secara seksual (yaitu pada usia 13 tahun bagi anak perempuan dan 14 tahun bagi anak laki-laki) adalah masa dimana penyesuaian pribadi dan sosial anak sangat perlu mendapatkan perhatian. Disinilah letak penting keberadaaan bimbingan dan konseling (BK) di SD.  (Hurlock, 1980).

Lihat juga  STKIP Muhammadiyah dan SMA Negeri I Manokwari Wakili Papua Barat di Ajang Nasional Diskusi Parade Cinta Tanah Air

Pentingnya keberadaan BK disekolah telah dituangkan pemerintah dalam Permendikbud RI  No 111 Tahun 2014 tentang layanan bimbingan dan konseling yang dilaksanakan pada satuan pendidikan mulai dari SD/MI/ SDLB sampai dengan SMA/MA/SMALB dan SMK/MAK/SMKLB. Hal ini terlihat jelas bahwa dalam tiap sekolah harus ada guru BK nya. Namun ternyata tidak tiap sekolah memiliki guru BK.

Padahal fungsi guru BK sangat strategis sebagai salah satu komponen yang dapat membantu peserta didik dalam melewati masa perkembangannya.

Pada jenjang SMP dan SMA pada umumnya telah memiliki guru BK, atau setidak-tidaknya guru yang difungsikan sebagai guru BK. Hal ini tentu saja jauh dari ideal yang seharusnya dimana guru BK seyogyanya adalah berlatar pendidikan BK.

Masih banyak sekolah yang menjdikan guru mata pelajaran seperti guru Agama dan guru Penjas sebagai guru BK. Hal ini tentu saja tidak dapat dikatakan ideal, karena sesuai dengan Permendiknas Nomer 27 Tahun 2008 dikatakan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari program pendidikan di sekolah yang seyogyanya dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling atau konselor yang memiliki kompetensi.

Dalam salinannya disebutkan bahwa kompetensi tersebut mencakup kompetensi akademik dan profesional sebagai satu keutuhan.

Kompetensi akademik merupakan landasan bagi pengembangan kompetensi profesional, yang meliputi : (1) memahami secara mendalam konseli yang dilayani, (2) menguasai landasan dan kerangka teoretik bimbingan dan konseling, (3) menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan, dan (4) mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara berkelanjutan.

Kompetensi akademik dan profesional konselor secara terintegrasi membangun keutuhan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. (Permendiknas Nomor 27 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor (2008).

Demikian pula dengan rasio keberadaan guru BK di sekolah yang masih  jauh dari kata ideal. Rasio perbandingan guru BK di sekolah adalah 1 : 150-160. Artinya satu orang guru BK atau konselor melayani 150-160 peserta didik. Jika sekolah memiliki 600 siswa, idealnya harus memiliki 3-4 guru BK (lampiran Permendikbud No. 111 Tahun 2014).

Pada jenjang SD masih jarang ditemukan sekolah yang memiliki guru BK. Hal ini terjadi di hampir semua daerah di Indonesia, tidak terkecuali di Papua Barat padahal urgensi keberadaannya tidak perlu dipertanyakan lagi.

Dalam kondisi demikian pelaksanaan BK di SD dilakukan oleh guru kelas. Hal ini tertuang dalam Permendiknas No. 35 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya bahwa untuk guru kelas, di samping wajib melaksanakan proses pembelajaran juga wajib melaksanakan program bimbingan dan konseling terhadap peserta didik di kelas yang menjadi tanggung jawabnya.

Lebih lanjut dalam Panduan Operasional Pelaksanaan BK SD (POP BK SD) dijelaskan bahwa jika sekolah belum memiliki guru BK maka dapat ditugaskan guru kelas terlatih untuk menjalankan fungsi ke BK an. Hal inilah yang menjadi keunikan pelaksanaan bimbingan dan konseling (BK) di sekolah dasar (SD). Seperti yang dikemukakan oleh Sedanayasa (2015) yang mengatakan bahwa pelaksanaan BK di SD dilaksanakan oleh guru di kelas yang dalam fungsinya menjalankan juga tugas pembelajaran.

Jadi kegiatannya terintegrasi dalam pembelajaran tematik. Fungsi ke BK an pada guru kelas lebih banyak pada fungsi bimbingan, yang diberikan kepada peserta didik agar ia dapat mengembangkan potensi secara optimal, membimbing dalam masalah yang menghambat kegiatan belajar, dan membantu mencegah terjadinya masalah pada peserta didik.

Lihat juga  Mengelola Spirit Penataan Daerah untuk Kemuliaan Papua

Permasalahannya adalah  bagaimana jika ada peserta didik yang mengalami masalah dan ia membutuhkan lebih dari sekedar bimbingan, dapatkah seorang guru kelas melakukan konseling? Inilah yang menjadi tantangan tersendiri bagi pelaksanaan BK oleh guru kelas di SD.

Di satu sisi, guru kelas dituntut untuk dapat melakukan tugas pembelajran sekaligus menjalankan fungsi ke BK an, disisi lain guru kelas, bukanlah guru BK yang berlatar belakang pendidikan khusus BK, dimana guru kelas tidak dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan menyangkut ke BK an.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan menemukan bahwa pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling oleh guru kelas ditemukan beberapa hambatan,  antara lain (1) kurangnya pengetahuan yang mendalam tentang bimbingan dan konseling. Hal ini terjadi karena kebanyakan guru kelas bukanlah seorang konselor yang secara khusus mengenyam pendidikan Sarjana Bimbingan dan Konseling,  (2) beban guru kelas yang lumayan berat, dibuktikan dengan dokumen jadwal mengajar yang padat (Khabibah, 2017).

Penelitian lain menemukan bahwa kurangnya keterampilan, yang secara efektif dapat mengatasi kebutuhan psikososial peserta didik. (Mushaandja, Haihambo, Vergnani, & Frank, 2013).

Melihat kondisi di atas maka sekolah perlu  membekali para guru kelas di SD dengan pengetahuan dan keterampilan ke BK an, dimana keterampilan tersebut dapat dilakukan sesuai kapasitasnya sebagai guru kelas dan tidak mengambil porsi keterampilan yang seharusnya hanya dapat dilakukan oleh seorang profesional BK yaitu guru BK ataupun konselor.

Keterampilan tersebut adalah keterampilan komunikasi yang paling dasar dalam konseling, yaitu keterampilan attending, empati dan dorongan minimal. Attending adalah penampilan konselor secara verbal (kata-kata) dan non verbal (bahasa tubuh) serta kontak mata yang menunjukkan keakraban, keramahan, keterbukaan, penerimaan kepada peserta didik.

Empati adalah memahami dan dapat merasakan perasaan, pengalaman serta pikiran peserta didik. Dorongan minimal adalah bentuk kata yang singkat sebagai dorongan pada peserta didik saat ia sedang bercerita, agar peserta didik tidak ragu dan mau melanjutkan apa yang sedang ia ceritakan.

Ketiga keterampilan tersebut sejatinya sudah dijalankan oleh tiap guru dalam kegiatannya, namun dalam konteks konseling keterampilan ini dirancang agar lebih terarah untuk membuat peserta didik lebih dapat mempercayai sepenuhnya pada guru, dan mau terbuka mengenai apa yang menjadi masalahnya.

Jika peserta didik sudah merasa aman dan nyaman dengan guru kelas yang memiliki ketiga keterampilan tadi, maka ia diharapkan dapat menemukan solusi pada masalah yang dihadapi karena telah merasa aman, nyaman, percaya diri sebagai akibat dari bentuk dukungan guru kelasnya.

Disinilah letak penting peran strategis guru kelas di SD dalam membentuk peserta didik yang unggul. Peningkatan kapasitas guru sebagai pendidik sekaligus pembimbing di sekolah mutlak dilakukan.

Peningkatan kapasitas ini dapat dimulai dari pelatihan keterampilan yang sangat sederhana, yaitu keterampilan dasar komunikasi konseling bagi guru kelas di SD. Keterampilan dasar komunikasi konseling  ini diharapkan dapat memengaruhi perkembangan positif anak sehingga diharapkan peserta didik akan menjadi SDM unggul di masa yang akan datang.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *