Oleh Panggih Priyo Subagyo, S.Psi
Kembali kita digemparkan dengan pemberitaan seorang remaja masih di bawah umur N (15) yang membunuh anak balita. Hal yang lebih mengejutkan lagi adalah bahwa pelaku N merasa tidak menyesal setelah melakukan pembunuhan tersebut. Pada polisi remaja tersebut mengaku melakukan pembunuhan karena terinspirasi dari Film horor yang sering ditontonnya.
Polisi menemukan catatan dan skets gambar dari Anak yang berhadapan dengan Hukum (ABH) yang dapat digunakan sebagai bukti petunjuk. Pada catatan di kertas dapat ditemukan ungkapan kemarahan dan kesedihan dari N terhadap ayahnnya.
Skets gambar juga menunjukan ungkapan kesedihan dan kemarahan N. kasus ini membuat kita bertanya-tanya, bagaimana mungkin anak usia 15 tahun bisa melakukan perbuatan tersebut tanpa rasa bersalah? Maka siapa yang harus disalahkan?
Kasus ABH di Indonesia
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukan bahwa sejak tahun 2011 sampai 2019 kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak masih tergolong tinggi dan cenderung meningkat. Catatan KPAI, sejak 2011 hingga 2018, pengaduan terkait kasus Anak Berhadapan Hukum (ABH), selalu menduduki peringkat tertinggi, baik anak sebagai pelaku maupun sebagai korban.
Pada 2018, KPAI mencatat bahwa kasus ABH menduduki peringkat pengaduan tertinggi. Dari 1885 pengaduan yang masuk, 504 diantaranya (27% dari total kasus) merupakan kasus ABH. sejak 2011 hingga 2018, anak sebagai pelaku kekerasan seksual masih menjadi kasus tertinggi, yang diikuti dengan kasus anak sebagai pelaku kekerasan fisik, dan anak sebagai pelaku pembunuhan.
Pembunuhan yang dilakukan nak dibawah umur memang banyak terjadi dan masih memperihatinkan. N bukan satu-satunya pelaku dibawah umur yang melakukan pembunuhan. Namun dalam kasus N kali ini cukup berbeda dan menyita perhatian. Pasalnya N melakukan perbuatan tersebut dengan sadar dan merasa puas setelah melakukan pembunuhan.
Pentingya pengasuhan
Diketahui bahwa keluarga N mengalami broken home, dirinya saat ini tinggal bersama ayah kandung dan ibu tirinya. Catatan-catatan yang ditemukan polisi menunjukan ada indikasi bahwa N mengalami permasalahan dengan keluarganya.
Salah satu faktor perilaku agresif pada anak adalah pengasuhan orangtua. Pengasuhan adalah tugas orangtua dalam mencukupi kebutuhan dasar anak dan melatihnya dengan ketrampilan hidup yang mendasar, memenuhi kebutuhan psikologis dan emosi dan menyediakan kesempatan untuk menempuh pendidikan yang terbaik (Lestari 2012).
Termasuk didalamnya adalah memantau keseharian anak, apa yang ditonton, apa kesukaanya dan mencegahnya dari pengaruh negatif penggunaan gawai dan internet. Seperti yang terjadi pada N bahwa dirinya terinspirasi dari film horor yang pernah ditonton. Harusnya orangtua melakukan pengawasan sampai level apa yang anak-anak tonton, sehingga benar-benar memastikan bahwa tayangan tersebut baik untuk anak.
Menurut Koentjoro dan Andayani (2004) menyatakan bahwa melalui pengasuhan seorang anak akan belajar nilai, norma, sikap dan cara beperilaku yang ada di masyarakat. Tugas pengasuhan sepenuhnya menjadi tanggung jawab orangtua. Baik ayah ataupun ibu mempunyai peran yang berbeda dalam pengasuhan anak.
Psikolog Anak dan Remaja, Irma Gustiana A, M.Psi, Psi., menyampaikan bahwa ada berbagai macam faktor penyebab ABH. Salah satunya adalah kurangnya kasih sayang orangtua terhadap anak. Anak yang tidak mendapatkan kasih sayang dari orangtua cenderung akan mencari pemuasan psikologis diluar.
Menurut Koentjoro (2004) figur ibu berperan dalam pemenuhun kebutuhan akan kasih saying dalam perkembangan psikologis anak. Sedangkan figur ayah cenderung lebih tegas dan disiplin dalam pengasuhan anak.
Beberapa studi menunjukan keterlibatan ayah dalam pengasuhan mengurangi kecenderungan anak untuk berperilaku agresif. Kedua orangtua harus berbagi peran dan menjalankan peran tersebut dalam pengasuhan anak. Kelekatan antara kedua orangtua dan anak berkaitan erat dengan tercegahnya anak dari perilaku delinkuensi (tawuran, kekerasan, pencurian ,dan lain-lain).
Penanganan Anak di bawah umur
Palaku N masih dibawah umur dan berstatus pelajar. Untuk itu dalam penanganan kasusnya harus perdoman pada Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Bagaimanpun harus menguapayakan yang terbaik untuk anak. Jika terbukti bersalah maka penghukuman kepada N harus bersih dari unsur balas dendam dan bersifat rehabilitatif.
Selama menjalani proses hukum anak harus mendapatkan pendampingan yang tepat baik dari penegak hukum dan tenaga professional seperti psikolog. Pasalnya kasus N tergolong unik dan perlu mendapatkan perhatian khusus.
Kasus ABH seperti N bukan hanya menjadi tanggung jawab bagi keluarga, tetapi juga bagi sekolah, masyarakat dan pemerintah. Pasalnya, separuh waktu anak berada di lingkungan sekolah.
Sekolah harus bisa menanamkan karakter posisitf kepada anak didik. Masyarakat juga harus berpartisipasi aktif dalam menciptakan budaya dan pergaulan yang sehat untuk tumbuh kembang anak. Pemerintah juga harus terlibat dalam membangun regulasi didaerah yang ramah anak. Pemerintah sampai level terendah seperti RT/RW harus mengembangkan model pencegahan.
Pelaku N masih memiliki masa depan yang panjang. Untuk itu menjadi tugas dan tanggungjawab bersama untuk memulihkan kembali psikologis N. N adalah korban dari bagaimana sistem dan struktur sosial di keluarga dan masyarakat tidak berjalan sebagai mana mestinya. Untuk itu diperlukan keterlibatan semua pihak dalam proses rehabilitasi.
Penulis adalah Pembimbing Kemasyarakatan Pada Bapas Kelas I Manokwari.