MANOKWARI, PAPUAKITA.COM—Massa aliansi masyarakat peduli hak politik orang asli Papua bersama Parlemen Jalanan (Parjal) Provinsi Papua Barat, memutuskan menggotong peti jenazah dari Kantor DPR Papua Barat menuju ke Kantor Gubernur provinsi Papua Barat, Selasa (14/5/2019) petang.
Aksi itu dilakukan sebagai bentuk kekecewaan karena tidak bisa bertemu dan menyerahkan aspirasi kepada Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan. Aksi massa ini dilakukan sejak Senin (13/5/2019) di kantor DPR Papua Barat (DPRPB).
Dengan pengawalan aparat kepolisian, massa tiba di kantor gubernur dan langsung meletakan peti jenazah dan satu krans bunga di tempat parkir kendaraan dinas gubernur dan wakil gubernur.
Ketua Mekkesah, Obet Arik Ayok mengatakan, peti jenazah ini merupakan simbol kematian demokrasi, karena hak-hak dasar orang asli Papua tidak dapat dipenuhi sesuai amanat Undang Undang Otsus terutama hak politik, ini dilihat dari hasil pemilu 17 April lalu.
“Barang (peti jenazah) ini tinggal mau dibuka atau tidak, mau semua orang angkat dan buang terserah. Saya angkat barang ini tinggal di sini. Saya tidak perlu bicara lagi saya tokoh yang semestinya dihargai,” ujar Obet Ayok.
Massa diterima oleh Kepala Biro Humas dan Protokoler Setda Provinsi Papua Barat, Yohanes Nauw dan didampingi Kabag Protokoler, Helen Frida.
Ketua Parjal, Ronal Mambiew membacakan pernyataan sikap yang berisikan lebih kurang 11 point. Beberapa diantara pernyataan sikap itu, menilai bahwa sekian tahun pelaksanaan UU otsus tetapi belum ada keadilan bagi orang asli Papua terkait perlindungan dan pengakuan akan hak politik.
Juga menolak seluruh hasil pemilu 17 April 2019. Sesuai survei, parpol wajib beri kursi kepada orang asli Papua sesuai amanat pasal 28 UU Otsus.
“Kita menyatakan untuk mengembalikan UU Otsus ke pemerintah pusat, karena tidak ada masa depan bagi orang asli Papua,” sebut Ronal sembari menyatakan jika pernyataan ini tidak disikapi maka akan ada aksi yang lebih besar lagi.
Sebelumnya, massa juga sempat menyegel kantor DPR Papua Barat (DPRPB) dan kantor Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat (MRPB) secara bersamaan. Tindakan ini dilakukan karena mereka tidak dapat berdialog dengan gubernur.
Meski demikian, aksi penyegelan ini tidak berlangsung dalam waktu lama. Lebih kurang 2 jam segel sudah dibuka kembali. Oleh massa tanpa ada paksaan. (RBM)