MANOKWARI, PAPUAKITA.COM—Penetapan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) tentang Keanggotaan DPR Papua Barat Melalui Mekanisme Pengangkatan Dalam Kerangka Otonomi Khusus, sudah final.
Demikian disampaikan Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPR Papua Barat, Frida Tabita Kelasin. Frida Kelasin menegaskan hal itu menyusul pernyataan Ketua Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat, Maxsi Nelson Ahoren, bahwa penetapan perdasus tersebut adalah ilegal.
“Saya merasa seluruh proses dan mekanisme sudah sesuai. Apalagi seluruh proses itu, eksekutif terlibat secara langsung. Perdasus pengangkatan ini dari sisi pembahasan ok, alas haknya berupa naskah akademik juga ada dan tahapan menanyakan perdasus ini ke masyarakat sudah jalan,” kata Frida Kelasin.
Frida Kelasin merasa penting untuk melakukan klarifikasi, karena pernyataan ketua MPRPB pasti menimbulkan gesekan di tengah masyarakat. Juga menciderai hubungan antarlembaga, serta menimbulkan polemik.
“Penjelasan yang disampaikan oleh MRPB terkait judul ini, itu sudah final. Kita sudah selesaikan. Di DPR dan eksekutif itu sudah final tidak lagi ada yang dikategorikan ilegal. Tahapan sudah selesai. Hari ini kita tahu bahwa sudah disahkan hanya butuh registrasi dan pengundangan,” tambah Frida Kelasin.
Salah satu tahapan yang harus dilalui dalam penyusunan dan pembahasan regulasi daerah, adalah meminta pertimbangan dan persetujuan MRPB. Proses tersebut adalah amanat Undang Undang Otonomi khusus, dan sudah dilalui. Ini ditandai dengan pengembalian ketujuh draf raperdasus dari MRPB kepada DPRPB.
Menurutr Frida Kelasin, hasil pemberian pertimbangan dan persetujuan MRPB telah diselaraskan dengan kebutuhan serta merujuk pada perdasus nomor 16 tahun 2013 yang mengatur tengan keanggotaan DPRPB tersebut. Dengan kata lain, hasil pemberian pertimbangan dan persetujuan tidak serta merta harus diakomidir seluruhnya.
Lanjut Frida Kelasin, hal mendasar yang penting dilihat untuk menyelaraskan hasil pemberian pertimbangan dan persetujuan, adalah tidak memaksakan kemauan, tata cara pembentukan produk hukum daerah, pengalimatan pasal sampai ayat mempunyai cantolan hukum, dan tidak boleh menganut pengertian bersayap.
Frida kelasin menjelaskan, di dalam perdasus baru tersebut terdapat beberapa pasal yang sangat urgen. Pasal-pasal itu muncul berdasarkan pengalaman dan referensi yang ada serta dari hasil pembahasan. Dia juga menyampaikan MRPB telah melakukan tugasnya dengan memberikan pertimbangan dan persetujuan.
“MRPB sudah melakukan itu, lalu muncul kata ilegal. Apa alasannya? Berita acara penyerahan pemberian pertimbangan dan persetujuan sudah diserahkan. Berarti itu sudah beres. Menurut saya ini perlu diklarifikasi. Mudah-mudahan kita lihat nanti apa ada waktu yang cukup untuk duduk bersama,” ujar dia.
Saat ini, ketujuh raperdasus yang telah disahkan beberapa waktu lalu sedang dalam proses registrasi dan pengundangan di tingkat kementerian. Proses ini membutuhkan waktu karena ada sejumlah administrasi yang perlu dilengkapi.
Ketua Komisi A DPRPB, Yan Anton Yoteni mengatakan, penetapan perdasus keanggotaan DPRPB melalui mekanisme pengangkatan dalam kerangka otonomi khusus sudah sesuai dengan mekanisme, salah satu rujukan adalah Undang Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan daerah.
Kata Yoteni, pada tahap pembahasan sudah diserahkan secara resmi tujuh raperdasus ke MRPB untuk mendapat pertimbangan dan persetujuan. Kemudian, pada 20 Desember 2018 ada satu surat yang ditandatangi oleh ketua MPRB.
Adapun isi dari surat tersebut adalah menyampaikan bahwa, sesuai dengan keputusan hasil rapat gabungan anggota MRPB, ketujuh raperdasus akan diserahkan kembali ke DPRPB pada 28 Desember 2018.
DPRPB melalui surat balasan menjawab surat MRPB tersebut, dikirimkan pada 23 Desember 2018 Intinya, DPRPB bersedia menerima kembali ketujuh raperdasus yang telah mendapat pertimbangan dan persetujuan oleh MRPB sesuai waktu yang dijadwalkan oleh MRPB.
Pada tanggal 28 Desember, lanjut Yoteni, di dalam paripurna yang dihadiri oleh pemerintah, DPR juga MRPB, tujuh raperdasus itu diserahkan semuanya. Ini dibuktikan dengan berita acara yang ditandatangani masing-masing oleh ketua DPRPB dan ketua MRPB.
“Di berita acara tidak ada dibilang satupun ditolak. Tujuh diserahkan semuanya. Tanggal 28 Desember itu sudah selesai secara institusi dan bukan perorangan. Kalau sekarang dibilang ada satu yang ditolak itu pembohongan publik,” tegas Yoteni.
Dugaan manipulasi Administrasi
Kemudian, Yoteni melanjutkan, DPRPB mendapat Surat Keputusan (SK) MRPB Nomor MRPB Nomor: 13/MRP-PB/XII/2018 tanggal 28 Desember 2018 tentang penolakan perdasus keanggotaan DRPB melalui mekanisme pengangkatan.
Salah satu butir di dalam surat tersebut adalah, menolak materi raperdasus tentang keanggotaan DPRPB melalui mekanisme pengangkatan dalam kerangka otonomi khusus.
“Tanggalnya 28 Desember 2018, lho…kok tanggal 28? Kenapa waktu diserahkan ini (surat, red) tidak dibacakan. Ini namanya kejahatan atas administrasi. Ini dibuat kapan? Kan surat ini dibuat tanggal 11 dan dipleno,” ujar Yoteni.
MRPB telah memberikan pertimbangan dan persetujuan MRPB terhadap ketujuh raperdasus. Misalnya, raperdasus Penyediaan Rumah Bagi Orang Asli Papua, DPRPB mengajukan draf raperdasus dengan 40 pasal, MRPB mengajukan 22 (pasal) usulan.
Raperdasus Masyarakat Hukum Adat Papua dan Wilayah Adat, draft dari DPRPB sebanyak 80 pasal, MRPB mengusulkan 99 usulan; Raperdasus Pengelolaan Dana Otonomi Khusus, sesuai dengan draf yang disusun DPRPB ada 18 pasal, namun MRPB mengusulkan 22 pasal.
“Raperdasus tentang Pemberdayaan dan Penyelenggaraan Pengusaha Asli Papua, kita punya 60 pasal, MRPB punya 50 usulan dan lima pertanyaan serta empat pernyataan. Raperdasus DBH migas, kita punya 24 pasal, dia (MRPB) ajukan 60 usulan,” jelas Yoteni.
Yoteni menyatakan, khusus raperdasus keangotaan DPRPB, sesuai draf yang disusun oleh DPRPB terdapat 49 pasal. Sementara, MRPB mengajukan 29 pasal dan meminta 7 pasal didroop. Ia mengatakan, dari 29 usulan tersebut, MRPB menginginkan bisa melakukan PWA terhadap anggota DPRPB jalur otsus.
“Itu tidak bisa karena tidak ada satu pun pasal di dalam PP 54/2010 dan Undang Undang Otsus yang mendelegasikan tugas tersebut. Terhadap seluruh raperdasus yang sudah diberikan pertimbangan dan persetujuan, ini tidak seluruhnya kita terima. Kita punya frame untuk menilai pekerjaan ini,” kata Yoteni menegaskan.
Yoteni menyatakan, MRPB bukan lembaga yang diberikan kewenangan untuk membuat peraturan daerah. Sesuai amanat peraturan perudang-undangan, MRPB sebatas memberikan pertimbangan dan persetujuan. Menurut Yoteni, sejumlah usulan MRPB bermakna bahwa lembaga kultural ini telah membuat sandingan raperdasus.
“Pertimbangan dan persetujuan MRPB seperti apa yang akan diterima oleh DPRPB, yaitu pertimbangan yang berpihak, memberdayakan, melindungi, pertimbangan yang isinya ada afirmasi bagi orang asli Papua dari tujuh raperdasus ini. Bukan dia buat baru. Kalua mau lihat usulan-usulan ini sudah membuat sandingan ya..tidak bisa,” ujar dia.
Dalam pernyataannya, Yoteni mengaku, pada waktu pengembalian ketujuh rancangan raperdaus, ketua MRPB menyampaikan perkataan sebagai berikut:
“Kami mengembalikan ketujuh raperdasus ini, dan sudah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap enam raperdasus. Satu yang belum adalah tentang raperdasus pembangunan provinsi berkelanjutan”.
“Fakta hari yang enam itu sudah termasuk jalur pengangkatan, terus cari apa lagi? Jangan bodohi rakyat. Maka surat yang dikeluarkan oleh kementerian dalam negeri bukan suatu keputusan, itu surat yang berisi tentang koordinasi,” jelas lagi.
Masih menurut Yoteni, pada saat FGD dalam rangka menguatkan raperdasus tentang provinsi pembangunan berkelanjutan yang diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri—dirinya sempat bertanya kepada Dirjen Otda perihal ketujuh raperdasus yang sudah diserahkan oleh biro hukum.
“Langsung dijawab bahwa tanggal 8 Februari sudah ada serahkan kembali ke kantor perwakilan di Jakarta. Tanggal 8? Kok kami tidak tahu, ini sudah tanggal 22. Kabiro Hukum juga bilang belum terima, kami DPRPB juga tidak tahu. Dan anehnya MRPB sudah terima duluan dan sudah beredar di luar ada apa?,” katanya.
Masih menurut Yoteni, setelah mendapat surat dari kementerian dalam negeri itu, lalu surat itu dipelajari. Alhasil, ketujuh raperdasus itu ditanggapi oleh kementerian dalam negeri berdasarkan surat biro hukum dan surat MRPB, yang seharusnya tanggapan tersebut mengacu pada surat biro hukum dan surat DPRPB.
“MRPB ini kan keterwakilan adat, perempuan, dan agama. Sekarang persoalan perempuan siapa yang mereka urus di kementerian dalam negeri di Jakarta? Masalah adat apa yang diurus,” tukasnya.
Dengan demikian, tegas Yoteni, surat kementerian dalam negeri yang meminta DPRPB kembali berkoordinasi dengan MRPB, tidak sesuai dengan tahapan dan mekanisme pembahasan yang telah dilaksanakan untuk ketujuh raperdasus tersebut. Dikarenakan hasil penilaian kementerian bukan berdasarkan surat MRPB, bukan DPRPB.
“Kami tidak kembali lagi ke pembahasan, karena MRPB sudah memberikan pertimbangan dan persetujuan. Selesai!. Usulan dari MRPB itu kita sudah luruskan juga di kementerian dalam negeri. Kita ini sama-sama dari jalur adat, rekomendasi adat. MRPB sebaiknya itu kembali ke tugas, fungsi, dan tidak melampaui kewenangan orang lain,” tegas Yoteni.
Yoteni menambahkan, pernyataan Ketua MRPB yang menyatakan perdasus pengangkatan kursi otsus ilegal, adalah pernyataan individual dan sarat berisi pembohongan publik. Sangat individual dan berisi pembohongan publik,” pungkasnya.
Adapun Ketua MRPB, Maxsi Nelson dikonfirmasi ihwal penetapan perdasus serta penyataan ilegal belum memberikan respon sama sekali. (RBM)