Usulkan Penyempurnaan Enam Raperdasus, Ketua MRPB: Raperdasus Kursi Otsus Ditolak

MANOKWARI, PAPUAKITA.COM – Ketua Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat (MRPB), Maxsi Ahoren menyatakan tujuh rancangan peraturan daerah khusus (Raperdasus) yang diserahkan DPR Papua Barat, untuk mendapatkan pertimbangan dan persetujuan MRPB belum menyentuh kepentingan orang asli Papua (OAP).

“Banyak hal yang prinsip yang salah dan tidak sesuai. MRPB telah mengusulkan kepada DPR Papua Barat dan gubernur untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan substansinya termasuk banyak hal tertentu yang ditolak karena dinilai tidak adil bagi kepentingan mayoritas orang asli Papua,” kata Maxsi, Jumat (11/1/2019).

Selain itu, kata Maxsi, di dalam sejumlah raperdasus juga terdapat hal-hal yang bertentangan dengan undang undang sektoral serta tidak dijiwai semangat Otsus. Sehingga dapat menimbulkan kerancuan hukum. Juga terkesan memihak kepentingan kelompok tertentu saja.

“Hal-hal yang sifatnya teknis dan fungsional tidak terlalu dibahas selama itu tidak menimbulkan implikasi hukum saat (perdasus) diundangkan,” ujarnya.
Adapun ketujuh raperdasus, yakni Raperdasus tentang Masyarakat Adat, Raperdasus tentang DBH Migas, Raperdasus tentang Pengelolaan Dana Otsus, Raperdasus tentang Perumahan Layak huni bagi orang asli Papua.

Selanjutnya, Raperdasus tentang Pemberdayaan Pengusaha Lokal, Raperdasus Pembangunan Berkelanjutan Provinsi Papua Barat, dan raperdasus Pengangkatan Anggota DPR Papua Barat melalui jalur otonomi khusus.

Raperdasus Pengangkatan Anggota Jalur Otsus Ditolak

Diketahui waktu bagi MRPB untuk memberikan pertimbangan dan persetujuannya terhadap rancangan regulasi adalah 30 hari. Ini terhitung sejak rancangan peraturan daerah itu diserahkan dari DPR Papua Barat.

Menurut Maxsi hanya enam raperdasus yang diterima serta diusulkan untuk dilakukan perbaikan dan penyempurnaan sesuai pertimbangan dan persetujuan MRPB. Sedangkan raperdasus tentang pengangkatan anggota DPR jalur otsus ditolak.

“Penolakan ini karena didasarkan pada pertimbangan isi dan tujuannya, serta potensi dampak negatif yang akan ditimbulkan,” ungkap Maxsi tanpa merinci dampak negatif seperti apa yang dimaksud.

Lihat juga  Rekam Jejak Pejabat Tolok Ukur Pengisian Jabatan Eselon II

“Pernyataan yang disampaikan oleh beberapa elite politik bahwa memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap raperdasus, MRPB tidak berhak mengusulkan perubahan pasal hanya dapat mengusulkan pasal baru serta menolak raperdasus saja. Itu pernyataan yang keliru sangat tidak memiliki dasar hukum,” tambah Maxsi.

Dirinya mengatakan, pendapat bahwa MRPB tidak memiliki kewenangan tersebut sama hal dengan menafikan tugas dan wewenang MRPB sesuai amanat Undang Undang (Otsus). Sebab kewenangan itu jelas diamantkan di dalam pasal 20 ayat 1 huruf (b). Juga pasal (38) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua.

“Jika MRP tidak boleh melakukan itu, lalu (siapa) lembaga yang akan diperintahkan UU Otsus untuk memperjuangkan dan menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi perlindungan hak-hak dasar orang asli Papua di dalam raperdasus,” kata Maxsi tegas.

Maxsi mengingatkan, elite politik di daerah perlu melihat kembali beberapa hal substantif dalam penyusunan suatu regulasi. Sehingga pernyataan-pernyataan yang dilontarkan tidak menimbulkan kerancuan serta perdebatan yang tidak substantif.

Hal-hal subtantif, lanjut Maxsi, menyangkut pertimbangan situasi dan kondisi sosial serta politik saat itu, mengandung ideologi dan kepentingan dari pembuat, bersifat mengatur dan memaksa, mengompromikan kepentingan para pihak tertentu, serta tidak ada satupun peraturan yang dibuat sempurna.

Maxsi menambahkan demi aspirasi dan kepentingan mayoritas orang asli Papua, MRPB akan melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan kementerian terkait lainnya. Untuk memastikan substansi sejumlah regulasi yang diserahkan oleh DPR PB dan Pemerintah Pemprov sudah sesuai dengan amanat UU Otsus.

“Tujuannya untuk memastikan usulan-usulan yang telah disampaikan MRPB tetap terakomodir dalam raperdasus. MRPB memahami baik tidak ada dasar hukum yang dapat digunakan untuk membersihkan usulan-usulan itu,” tutup Maxsi

Lihat juga  Pemprov Papua Barat tak hadiri rapat paripurna pembahasan RAPBD 2023

Sebelumnya, DPR Papua Barat telah menyerahkan ketujuh raperdasus ke MRPB, 30 November 2018. Ketua DPR Papua Barat Pieters Kondjol mengatakan, sejumlah raperdasus ini harus mendapat pertimbangan dan persetujuan lembaga kultur orang asli Papua itu.

“Sebelum ditetapkan, sejumlah rapardasus ini harus mendapat pertimbangan dan persetujuan MRPB. Raperdasus yang disahkan akan menjadi pedoman pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan kemasyarakatan di Provinsi Papua Barat,” kata Kondjol saat itu. (MKD/RBM)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *