DPRD di Tanah Papua Diubah Menjadi DPRK, Yoteni: Perubahan Ini Mesti Disosialisasikan

MANOKWARI, PAPUAKITA.comNomenklatur Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota di Tanah Papua, Provinsi Papua dan Papua Barat diubah menjadi DPRK (Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota). Perubahan ini merujuk pasal 1 ayat (12) Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

“Masyarakat kita harus terbiasa dengan perubahan (nomenklatur DPRD) ini. Bayangkan saja sejumlah kantor DPRD akan diubah menjadi DPRK. Ini harus disosialisasikan,” ujar anggota Fraksi Otsus DPR Papua Barat Yan Anton Yoteni di sela reses kedua yang berlangsung di Pulau Lemon, Distrik Manokwari Timur, Rabu (21/7/2021).

Yonteni mencontohkan, sejumlah perubahan mendasar juga diamanatkan di dalam UU Otsus, selain perubahan nomenklatur. Ada juga Badan Pengawas Otonomi Khusus, tata cara rekrutmen anggota Majelis Rakyat Papua Barat dan tata cara rekrutmen anggota DPRD jalur otsus di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

“Perubahan UU tersebut mesti dibuatkan aturan turunannya, baik berupa Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) atau Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi). Kita akan lihat dan pilah-pilah mana yang harus dibuatkan perdasus maupun perdasi,” ujarnya lagi.

Perubahan nomenklantur DPRD menjadi DPRK, menurut Yoteni, adalah sejalan dengan keberadaan anggota DPRK jalur pengangkatan di tingkat kabupaten/kota. Ia mengatakan, persentase keterwakilan masyarakat adat dari kabupaten kota di DPRD adalah ¼ dari jumlah kursi di DPRD.

“Keterwakilan ini ada di seluruh DPRD yang ada di tanah Papua. Seperti keterwakilan anggota jalur pengangkatan DPR tingkat provinsi yang ada saat ini. Bayangkan, setiap DPRD itu akan ada 5 perwakilan masyarakat adat,” tutupnya.

Di sisi lain, Yoteni mengaku, dua poin dari 14 poin yang diusulkan oleh DPR Papua Barat didalam revisi Undang Undang Otsus ditolak oleh pemerintah pusat. Adapun dua poin tersebut, menyangkut keterwakilan anggota DPR RI jalur pengangkatan. Berikutnya, pembentukkan partai politik lokal.

Lihat juga  Muslimin Zainuddin Laksanakan Reses, Tampung Aspirasi Masyarakat Kota Sorong

“Alasan penolakan soal anggota DPR RI jalur pengangkatan disampaikan karena belum waktunya. Juga dari hasil kajian, keterwakilan ini belum mewakili hak politik masyarakat adat Papua (barat). Jika dibanding dengan jalur pengangkatan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, ini lebih representatif,” jelas Yoteni.

Yoteni mencontohkan, pembentukkan partai politik lokal ini akan muncul persoalan dalam pengisian kepengurusan. Tetapi berbeda dengan anggota DPRD pengangkatan yang sudah jelas keterwakilannya.

“Alasan pemerintah pusat soal penolakan adalah daerah memperkuat keterwakilan anggota jalur pengangkatan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Kita sudah usulkan pengangkatan DPRD kabupaten/kota. Dan usulan ini disetujui,” ucapnya.

Dalam penjelasannya, Yoteni juga menekankan, konteks pemberdayaan orang asli Papua didalam UU Otsus baru, terdapat terbosan-terobosan yang belum sempat diimplementasikan di dalam UU Otsus sebelum revisi.

“Seperti saya sampaikan soal keterwakilan anggota DPRD di tingkat kabupaten/kota, waktu lalu tidak ada. Sekarang sudah ada, jadi orang tidak perlu lagi berkelahi hanya untuk berebut kursi serupa di level provinsi. Negara sudah kasih kesempatan, ini berkah Tuhan luar biasa, silahkan diambil,” tutur Yoteni.

Yoteni menegaskan, keterwakilan anggota jalur pengangkatan di DPRD kabupaten/kota juga bertujuan menjaga eksistensi hak politik orang (asli) Papua. Dia menilai, beberapa daerah di Papua Barat maupun Papua hampir tidak ada keterwakilan orang asli Papua di DPRD. Untuk itu, hak politik itu jangan sampai diambil.

“Adanya anggota DPRD pengangkatan ini maka akan terlihat anak-anak asli Papua. Sama hal di DPR Papua Barat saat ini, cerminan orang asli Papua ada di sana karena ada 11 orang jalur pengangkatan. Kalau semua lewat partai politik, tak terlihat. Tenggelam. Afirmasi politik ini akan dan telah mengangkat keterwakilan orang asli Papua di DPRD maupun di lembaga kultur,” pungkasnya. (ARF)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *