Raperdasus DBH Migas Belum Akomodir Kabupaten Sorong Selatan Sebagai Daerah Penghasil

MANOKWARI, Papuakita.com – Penyusunan dan pembahasan rancangan peraturan daerah khusus (Raperdasus) Dana Bagi Hasil Minyak Gas (DBH Migas) di tingkatan DPR (Papua Barat) berjalan alot. DPR PB melalui Badan Pembentuk Peraturan Daerah (Bapemperda) menggenjot pembahasan rancangan regulasi tersebut, dengan harapan sudah bisa ditetapkan sebagai produk hukum pada masa sidang terkahir 2018.

Proses pembahasan Raperdasus DBH Migas semakin dinamis. Sebab, di tengah upaya tersebut muncul aspirasi dari masyarakat adat tujuh (7) suku dari Kabupaten Teluk Bintuni, juga masyarakat adat Imeko, Kabupaten Sorong Selatan. Masyarakat adat asal Teluk Bintuni menyoroti soal transparansi penyusunan regulasi itu. Masyarakat Sorong Selatan justru menghendaki daerahnya masuk dalam klasifikasi daerah penghasil migas. Raperdasus tersebut belum mengakomodir kabupaten Sorong Selatan sebagai daerah penghasil Migas.

Anggota Fraksi Otsus DPR PB, Yonadap Trogea. Foto : RBM/PKT

Anggota Fraksi Otsus DPR PB, Yonadap Trogea mengatakan, pembahasan raperdasus tersebut kembali harus memperhatikan aspirasi yang disampaikan masyarakat ke DPR Papua Barat, DPR PB pun telah membentuk pansus. Pansus ini melakukan kunjungan kerja ke lapangan dalam rangka bertemu dengan masyarakat adat, pemerintah daerah di dua daerah tersebut. Selain itu, pansus juga telah bertemu dengan SKK Migas Wilayah Papua- Maluku. Pertemuan ini akan dilanjutkan ke SKK Migas pusat dan Kementerian ESDM di Jakarta.

“Dalam pertemuan, SKK Migas memaparkan peta eksplorasi dan eksploitasi migas di wilayah Berau, wilayah ini meliputi Kabupaten Sorong Selatan dan Fak-fak. Betul, di wilayah Sorong  sudah ada eksplorasi, tetapi belum ada eksploitasi. Di daerah Weriagar, kabupaten Teluk Bintuni sudah ada kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang berjalan,” kata Trogea usai mengikuti rapat pansus DBH Migas, di kantor DPR PB di Jalan Siliwangi, Rabu (17/10/2018).

Dijelaskan Trogea, berdasarkan pemaparan SKK Migas dan merujuk pada UU Migas, suatu daerah dapat dikategorikan sebagai daerah penghasil (migas) jika memenuhi tiga kriteria. Pertama, sudah ada kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Kedua, sudah ada proses produksi. Dan, ketiga adalah memberikan pendapata bagi negara atau pajak.

Lihat juga  Pemprov Papua Barat usulkan pagu anggaran 2024 senilai Rp3,8 triliun

“Imeko baru memenuhi satu kriteria, eksplorasi. Tapi dari sisi masyarakat adat klaim sudah, itu sejak dulu. Juga selalu ada kapal-kapal pengangkut gas dari Bintuni yang melintasi wilayah mereka. Mereka juga sinyalir ada pipa yang masuk ke wilayah Sorong selatan dan mengambil gas, ini yang masyarakat klaim. Untuk itu, pansus turun ke lapangan untuk menyatukan pendapat-pendapat ini,” ujar Trogea yang juga masuk dalam pansus DBH Migas.

Dia mengatakan, hasil kerja pansus akan disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR PB, untuk selanjutkan ditetapkan dalam paripurna. Meski demikian, hasil kerja tersebut akan disampaikan setelah pansus bertemu dengan SKK Migas Pusat, Kementerian ESDM, serta BP Indonesia.

“Aspirasi masyarakat ini tidak boleh diabaikan, itu korelasinya dengan raperdasus yang sedang dibahas. Kita akan tunggu seperti apa keputusan SKK Migas dan para ahli soal Imeko ini masuk dalam kategori apa? Apakah daerah penghasil atau daerah terdampak. Dari situ baru kita kan buat laporan tertulis dan dituangkan di dalam raperdasus yang selanjutkan sipa diimplementasikan,” ungkap Trogea.

Yonadap berharap, masyarakat adat Imeko maupun pemda Sorong Selatan, masyarakat Raja Ampat dan Teluk Bintuni tetap bersabar dan memberikan dukungan penuh ke DPR PB agar bisa bekerja maksimal menindaklanjuti  aspirasi yang disampaikan. “DPR PB sudah sangat siap,” ujar Trogea.

Senada dengan koleganya, Dominggus Sani membenarkan secara normatif, kabupaten Sorong Selatan belum masuk dalam kategori daerah penghasil (Migas). Hal ini merujuk pada tiga kriteria yang ada di atas. Meski demikian, kehendak masyarakat ini didasarkan pada sejarah dan situasi sosial yang ada saat ini.

“Dari situasi sosial masyarakat Sorong Selatan punya beberapa dokumen dan histori. Sekira 1982, Konoko sudah eksplorasi di Imeko. Setelah Konoko ada satu perusahaan lagi, dan perusahaan ini akhirnya jual seluruh blok ke BP. Dari sejarah ini, maka masyarakat mengangap Imeko masuk dalam wilayah BP sehingga meminta DPR PB meminjau raperdasus DBM migas sebelum ditetapkan,” kata Sani.

Lihat juga  Carstenz Malibela terpilih sebagai wakil ketua DPRPB dari fraksi Otsus
Anggota Fraksi Otsus DPR PB, Dominggus Sani. Foto : RBM/PKT

Selain itu, lanjut Sani, masyarakat Imeko menilai daerahnya juga menjadi daerah terdampak dari kegiatan eksploitasi migas. Di mana, daerah Sorong Selatan menjadi pintu masuk bagi kapal-kapal pengangkut gas dari bintuni.

“Imeko ini menjadi pintu masuk – keluar. Masyarakat mengkhawatirkan jika suatu saat terjadi kecelakaan sehingga gas yang dimuat tumpah, maka daerah mereka akan tercemar. Dari pikiran ini, maka DPR PB akan menyampaikan  ke pusat sehingga ada peninjauan kembali. Kalau tidak bisa kita akan upayakan Sorong Selatan masuk dalam kategori daerah terdampak satu. SKK Migas mendukung pemikiran ini,” ungkapnya.

Dominggus Sani menambahkan, selain menerima aspirasi masyarakat Imeko. Pansus juga menerima aspirasi dari masyarakat adat Teluk Bintuni. “Kami pikir untuk Bintuni sudah selesai ternyata tidak. Ada masalah. “Pansus punya waktu kerja ini 1 bulan. Hari ini kalau saya lihat Kabupaten Sorong, Raja Ampat, dan Bintuni tidak ada masalah. Masalahnya ada di daerah Sorong Selatan,” tutup Sani. (RBM/R1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *