DPRPB minta kaji wacana pelimpahan kembali urusan SMA/SMK ke daerah

MANOKWARI, PAPUAKITA.com—Ketua Fraksi Otsus DPR Papua Barat (DPRPB) George Karel Dedaida menegaskan, wacana pelimpahan kembali urusan pendidikan SMA/SMK ke kabupaten dan kota, mesti dikaji baik oleh pemerintah provinsi.

Menurut Dedaida, alasan pengembalian urusan pendidikan SMA/SMK ke kabupaten dan kota, karena bersentuhan dengan pelaksanaan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 106 Tahun 2021. Bukan sebuah alasan mendasar.

“Pemerintah provinsi harus selesaikan persoalan SMA/SMK. Pemprov jangan mewariskan persoalan pendidikan ini ke kabupaten dan kota. Jangan sampai penyerahan aset P3D kepada daerah justru memperburuk pendidikan di Tanah Papua,” ujar Dedaida, Rabu (19/10/2022)

Tidak seperti itu, karena yang akan jadi korban anak-anak asli Papua yang juga anak-anak adat,” sambungnya.

Persoalan pendidikan SMA/SMK ini, lanjut Dedaida, mesti menjadi satu pembahasan dalam agenda rapat kerja bupati dan wali kota se Papua Barat yang akan digelar di Kabupaten Sorong, Jumat.

Pelimpahan urusan SMA/SMK dikhawatirkan justru membuat pemerintah kabupaten dan kota akan berkurang perhatikannya dalam mengelola urusan pendidikan yang ada sudah ada, yakni TK, SD, dan SMP.

”Pelimpahan urusan SMA/SMK yang sudah ada ini justru anak-anak asli Papua jadi korban,” ujarnya lagi.

Di sisi lain, peliknya urusan pendidikan di Papua Barat juga menuntut perhatian besar pemerintah dibidang pendidikan informal. Pemerintah di level provinsi, kabupaten dan kota perlu mengelola sektor tersebut dalam upaya menekan angka putus sekolah.

Kata Dedaida, mengantisipasi bertambahya angka putus sekolah khususnya dari kalangan anak-anak asli Papua, maka pemerintah provinsi perlu memikirkan pola pendidikan informal. Sebab, pendidikan sejatinya bukan saja di bahwa atap sekolah.

“Mendorong literasi dan komputerisasi di luar sekolah harus digiatkan supaya anak-anak kita ini tidak saja mendapat edukasi dalam atap sekolah. Tetapi di lingkungan keluarga, masyarakat juga ada iklim belajar yang berkaitan dengan pendekatan kultur dan budaya setempat,” ucapnya.

Lihat juga  Banmus DPR Papua Barat Tetapkan Jadwal Pembahasan RAPBD 2024

Kemajuan dan perkembangan ilmu dan teknologi saat ini, maka keterampilan sangat dibutuhkan oleh generasi muda agar dapat bersaing dan mudah diserap oleh dunia kerja yang ada.

Diperkirakan 500 ribu anak Papua putus sekolah dan tidak mendapat pendidikan yang layak.

Angka partisipasi murni (APM) di sekolah dasar 84,3 persen jumlah siswa 132.757 orang mereka yang tidak sekolah 24.725 orang, sedangkan APM SMP 65,5 persen dengan jumlah siswa 48.083 orang yang tidak sekolah 25.326 orang.

Sementara tingkat SMA 67.99 persen jumlah siswanya 40.224 orang yang tidak mendapat pendidikan yang layak sebanyak 18.983 sehingga total keseluruhan anak asli papua yang tidak sekolah di Papua Barat sebanyak 68.988 orang.

Data tersebut merincikan di wilayah adat Bomberai meliputi Kabupaten Fakfak, Kaimana dan Teluk Bintuni anak papua yang sudah mendapat pendidikan sejak tingkat Sekolah Dasar 5.068 orang, SMP 6.179 orang dan SMA/SMK 3.257 sehingga totalnya 14.504 anak Papua.

Sementara di wilayah adat Domberai meliputi Kabupaten Teluk Wondama, Manokwari, Sorong Selatan, Sorong, Raja Ampat, Tambrauw, Maybrat, Pegunungan Arfak, Manokwari Selatan dan Kota Sorong, tingkat SD sebanyak 21.231 orang, SMP 21.120 orang dan SMA/SMK 14.690 orang sehingga totalnya 57.040 anak Papua.

Beberapa faktor penyebab angka putus sekolah cukup tinggi di Papua Barat, diantaranya sarana dan prasarana, biaya pendidikan, dan ironisnya cara pandang sehingga terkadang anak lebih memilih mengikuti orang tua berkebun ketimbang bersekolah. (*/PK-01)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *