MANOKWARI, PAPUAKITA.com—Aspek budaya harus menjadi salah satu pertimbangan dalam proses seleksi calon komisioner KPU Kabupaten Pegunungan Arfak (Pegaf).
Penentuan hasil seleksi dengan mengedepankan aspek lokal (budaya) di daerah itu, diyakini menjadi salah satu langkah konkret dalam mendukung suksesnya pelaksanaan agenda nasional, pemilu tahun 2024.
“KPU RI perlu memberikan penjelasan kepada masyarakat terkait alasan tidak diumumkannya hasil seleksi calon komisioner KPU kabupaten Pegunungan Arfak,” ujar Ketua DPR Papua Barat Orgenes Wonggor, Sabtu (22/7/2023).
Pernyataan Wonggor ini berkaitan dengan telah diumumkannya komisioner terpilih KPU di 6 kabupaten se Papua Barat oleh KPU RI. Sementara, hasil seleksi calon komisioner KPU kabupaten Pegaf tidak diumumkan secara bersamaan.
KPU RI, menurut Wonggor, perlu meninjau kembali hasil seleksi calon komisioner kabupaten Pegunungan Arfak. Hasil seleksi calon komisioner ini, harus dilihat dari semua aspek. Terlebih aspek budaya masyarakat suku Arfak.
“Meski ketentuan aturan di dalam seleksi calon komisioner itu tidak ada (tertulis), tapi perlu ada kebijakan khusus yang dipertimbangkan untuk kabupaten Pegunungan Arfak. Pegaf ini beda sekali dengan daerah lain,” ungkap Wonggor.
Dalam kaitannya dengan hal itu, Wonggor menegaskan, pembangunan demokrasi di kabupaten Pegunungan Arfak masih membutuhkan kebijakan-kebijakan khusus.
Misalnya dengan memberikan priortias kepada anak-anak asli Pegaf untuk mengisi posisi-posisi komisioner—yang sesuai dengan aspek sosial budaya suku Arfak.
“Di daerah lain proses seleksi itu terbuka dan bebas kepada setiap warga negara. Tetapi di wilayah Pegaf, aspek sosial budaya ini paling penting dan harus dipertimbangkan dalam rangka membangun tatanan demokrasi,” katanya.
“Kalau seleksi semata-mata ditentukan oleh nilai atau hasil tes, saya tidak jamin hal itu bisa memberikan jaminan untuk pelaksanaan agenda kepemiluan di Pegaf bisa berjalan secara baik dan lancar. Sosial budaya yang ada penting diperhatikan,” imbuhnya.
Wonggor mengemukakan, pertimbangan aspek sosial budaya dipakai sebagai salah satu penentuan seleksi calon komisioner KPU, tentu beralasan dan sangat relevan dengan kehidupan demokrasi masyarakat Pegaf yang masih kental dengan adat dan budaya.
“Kalau kita tempatkan orang tidak paham tentang sosial budaya di Pegaf, maka sulit untuk bisa menyelesaikan menyelesaikan masalah-masalah politik. Sebaliknya, anak-anak asli dari perwakilan suku yang ada yang dipercayakan maka akan jauh lebih mudah menyikapi dinamika politik,” tutupnya.
Daerah terbaik
Wonggor mencontohkan, kabupaten Pegunungan Arfak sempat mendapatkan menyandang predikat daerah dengan tingkat demokrasi terbaik di Indonesia dari Kemendagri.
Penilaian tersebut, tentu saja bukan tanpa alasan. Melainkan bukti bahwa demokrasi yang terbangun atas dasar pertimbangan sosial budaya di daerah Pegaf harus terus dijaga. Dalam rangka membangun kesadaran demokrasi masyarakat secara utuh.
“Komisioner KPU periode lalu sudah membuktikan hal itu, komisioner yang duduk itu terdiri atas anak-anak dari perwakilan suku masyarakat Arfak. Mereka mampu melaksanakan tugas dengan baik dengan pendekatan-pendekatan,” tukasnya.
Untuk itu, Wonggor meminta, KPU RI perlu mencerna dinamika sosial budaya yang ada di Pegaf. Dalam rangka menyukseskan perhelatan pesta akbar pemilihan umum.
Permasalahan seleksi komisioner KPU kabupaten Pegaf, tambah Wonggor, DPR Papua Barat tentu akan memberikan perhatian. Dengan tetap melihat respon KPU RI sehingga masalah tersebut tidak sampai mengganggu jadwal, tahapan, dan agenda pemilu.
Lihat juga : Wonggor tunaikan janji politik kepada masyarakat Kampung Amber
“KPU RI perlu ambil sikap dan solusi berkaitan dengan seleksi KPU Pegaf. Amanat Undang Undang Otonomi khusus sudah jelas. Secara kelembagaan DPR Papua Barat tentu memberikan perhatian terhadap permasalahan tersebut,” pungkasnya. (PK-01)
1 komentar