Diskusi Panel BMP-PB Soroti Kuota Kursi di Parlemen

MANOKWARI, Papuakita.com – Diskusi panel yang digelar Barisan Merah Putih Provinsi Papua Barat (BMP-PB), Rabu (30/5/2018), menyoroti implementasi otonomi khusus.

Sorotan itu sesuai teman diskusi “Kebijakan Strategis Pengangkatan Kursi Otsus Untuk Kabupaten/Kota Sesuai Amanat Undang-Undang 21 Otsus di Provinsi Papua Barat”. Ini diikuti oleh DPD Dan DPC BMP se Papua Barat.

“Kita di provinsi Papua Barat telah diberikan UU Otsus, banyak diberikan ruang namun masih banyak juga yang tidak dimanfaatkan. Tentunya, semua harus berdasarkan dengan aturan”.

BMP

Demikian Asisten Bidang Pemerintahan Setda Provinsi Papua Barat, Musa Kamudi saat memberikan sambutan mewakili gubernur.

Kata Musa, berlakunya UU Otsus, segala sesuatu kegiatan harus berdasarkan regulasi-regulasi serta kewenangan yang dimiliki, pelaksanaan ini harus konsekuen hingga ke tingkat kabupaten/kota.

“Kalau ditanya apa strategi  dalam pengangkatan kursi otsus, yaitu harus dengan merevisi Perdasus. Kenapa di Aceh ada  partai lokal namun di Papua tidak ada partai lokal,” ujar Musa.

Menurut Musa, Perdasus Nomor 13 Tahun 2013 tentang Pengangkatan Kursi Otsus, implementasinya diharapkan sampai ke tingkat kabupaten/kota.

“Itu semua tergantung dari kita soal bagaimana memanfaatkan ruang sehingga pemerintah pusat dapat melihat hal tersebut. Jangan selalu menyalahkan pemerintah (pusat),” ujarnya.

“Apakah bisakah pembentukan fraksi otsus juga berlaku di tingkat kabupaten/kota?,” kata Ketua BMP RI Papua Barat, Sahaji Rafideso.

Dijelaskannya, hal tersebut dapat diimplementasikan. Sebab otsus adalah kewenangan khusus yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah melalui Undang Undang.

“Latar belakang Otsus karena negara dengan orang Papua sampai dengan tahun 2001 masih berdiskusi dan berbeda pandangan terkait intregasi Papua ke NKRI dan persetujuan PPB pada hasil Pepera pada 1969,” ungkap Refideso.

Lihat juga  Momentum Pemilu dan Natal, Bupati Freddy Thie ajak masyarakat jaga toleransi

Refideso mengemukakan dalam hukum internasional tidak memungkinkan bangsa-bangsa yang pernah dijajah bangsa asing untuk mendapatkan ‘ruang merdeka’. Melainkan ruang yang lebih luas diberikan dalam bentuk otonomi khusus.

“Provinsi Papua Barat telah mendahului pengangkatan kursi di DPR (provinsi). Ini berdasarkan amanat pasal 6 Ayat 2 dan 4 UU Otsus. Bagi kabupaten/kota terkait pengangkan kursi ini belum diatur,” katanya.

Menurutnya,  untuk mengakomodir hal itu, perlu dilakukan revisi terhadap UU Otsus. Kewenangan ini dapat ditempuh dengan salah satunya adalah dengan membentuk peraturan daerah khusus/provinsi. Kepala daerah dapat melakukan hal ini.

“Otsus adalah solusi bagi orang Papua dan harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh sehingga kepercayaan masyarakat kepada negara meningkat termasuk alokasi anggaran harus berpihak pada pembangunan yang ada,” kata Refideso.

Dijelaskan anggota fraksi Otsus DPR PB ini, perbandingan dalam konteks pelaksanaan otonomi khusus antara Papua dengan Aceh, cukup mendasar.

Di mana, di Wilayah Aceh sudah menyiapkan konsep-konsep dasar pemerintahan. Misalnya, selain gubernur sebagai kepala daerah, juga ada Wali Nangur yang juga berperan dalam mengatur pemerintahan.

“Kita Papua ini jauh-jauh hari harus memiliki konsep tersebut. Dan ke depan kita bisa membedakan pemerintahan nasional dan pemerintahan kerajaan yang sama-sama bagaimana menjaga Keutuhan NRKI,” ujarnya

Refideso menambahkan, belum terwujud konsep pelaksanaan otsus seperti di Aceh disebabkan oleh belum adanya persamaan pemikiran diantara masyarakat Papua. (MKD)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *