DPRPB Rekomendasikan PT BAPP Segera Angkat Kaki dari Tanah Adat Suku Mpur

MANOKWARI, PAPUAKITA.COM – Pansus DPR Papua Barat (DPRPB) untuk persoalan wilayah adat Suku Mpur di Distrik Kebar Timur, Kabupaten Tambrauw, telah mengeluarkan rekomendasi atas persoalan yang terjadi antara PT Bintuni Agro Prima Perkasa (BAPP) dan masyarakat adat setempat.

Surat rekomendasi tersebut dikeluarkan medio November 2018 lalu, dan ditandatangani oleh Ketua DPRPB, Pieters Kondjol. Pansus merekomendasikan PT BAPP segera angkat kaki alias meninggalkan tanah adat milik suku Mpur.

“Segera perusahaan meninggalkan lahan dan mengembalikannya secara baik, secara utuh kepada masyarakat adat, untuk digunakan kebutuhan sehari-hari mereka. Lahan ini tempat pencaharian, ada sagu dan tanah yang dikelola sebagai sumber pendapatan,” kata Ketua Pansus, Maurid Saiba, Jumat (15/2/2019).

Surat rekomendasi tersebut juga telah dikirimkan kepada Presiden RI Joko Widodo serta ditembuskan ke sejumlah kementerian dan lembaga terkait per 11 Februari 2019.

“Dengan dikeluarkannya rekomendasi ini, maka semua yang berkaitan dengan masalah Kebar telah berakhir. Pansus sudah bekerja maksimal. Apa yang termuat di dalam rekomendasi ini sudah final. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera mencabut ijin PT BAPP,” tambah Saiba.

Menurut Maurid, dalam rekomendasi memuat sebanyak 14 point yang mendasari keputusan pansus. Belasan point itu menyangkut perijinan perkebunan termasuk hasil rapat dengar pendapat dengan forkompimda, universitas, dan kepala daerah provinsi dan kabupaten.

Maurid mengharapkan, masyarakat adat suku Mpur dan perusahaan saling menjaga untuk tidak memicu terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

“Kami minta gubernur Papua Barat untuk memperhatikan rekomendasi pansus serta harapan masyarakat suku Mpur. Masyarakat suku Mpur mendesak menteri lingkungan hidup dan kehutanan untuk menarik ijin prinsip penanaman kelapa sawit di wilayah tanah adat Mpur,” ujarnya.

Lihat juga  BNNP Papua Barat Sambangi TBBM Manokwari

Masyarakat adat ancam usir paksa

Perwakilan Suku Mpur, Hugo Asrouw menambahkan, pihak perusahaan dan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Tambarauw melalui Dinas Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP), mentaati dan menjalankan rekomendasi pansus.

“Perusahaan dan perangkatnya segera angkat kaki dari wilayah tanah adat suku Mpur, Kebar. Apabila hasil ini tidak ditaati, maka masyarakat akan melakukan pengusiran secara paksa meskipun pertumpahan darah taruhannya,” tukasnya.

Hugo menambahkan, semua pihak bisa taat dan menghormati keputusan yang sudah dibuat masyarakat Kebar pada 30 Agustus 2018 , dan hasil rekomendasi pansus yang intinya mendesak perusahaan harus angkat kaki.

“Masyarakat kebar juga masih menunggu hasil kerja dari MRPB. Kami juga meminta Polsek Kebar menaati rekomendasi pansus, karena pihak kepolisian masih terus menjaga area perusahaan sehingga masyarakat belum bisa beraktivitas di dekat area itu,” tutup Hugo Asrouw.

Upaya konfirmasi yang dilakukan ke pihak perusahaan ke salah satu penanggung jawab lahan perkebunan PT BAPP melalui sambungan telepon seluler belum berhasil. Kontak person yang dihubungi tersebut sedang tidak aktif.

Sebelumnya, dukungan penuh terhadap sikap dan keputusan suku Mpur yang menolak kehadiran PT BAPP, juga disampaikan Yayasan EconNusa Indonesia medio November 2018.

“Yayasan EcoNusa Indonesia mendkung penuh warga Kebar untuk meminta pencabutan izin PT BAPP ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” ujar Direktur EcoNusa Indonesia, Melda Wita Sitompul melalui keterangan tertulis yang diterima.

Dalam keterangannya, Melda Situmpol mengatakan, konversi hutan menjadi perkebunan sawit tidak bisa lagi ditolerir, apalagi sudah ada Inpres nomor 8 tahun 2018 tentang sawit.

Dia juga meminta pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus mencabut izin PT BAPP dan mengusut upaya pembohongan yang dilakukan oleh PT BAPP kepada masyarakat adat Kebar.

Lihat juga  Warga Kampung Pumbuan Dominan Idap ISPA

“Spirit untuk menjadikan Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi tidak boleh tercoreng oleh upaya ini, dan perusahaan harus patuhi semua ketentuan adat di Tanah Papua,” terangnya. (EFN/RBM)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *