Dishut PB dan PT Wijaya Sentosa dituntut bertanggungjawab atas kerusakan Kabung Fefrase

TELUK BINTUNI, PAPUAKITA.com—Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat dan PT WIjaya Sentosa dituntut bertanggung jawab. Atas kerusakan salah satu situs sejarah orang Kuri, Kabung Fefrase atau telaga awan. Situs ini telah hancur diduga kuat akibat aktivitas penebangan kayu yang dilakukan oleh PT Wijaya Sentosa (PT WS). Dilaporkan bahwa, Kayu bulat dengan ukuran bervariasi telah ditebang di lokasi yang dikeramatkan masyarakat ini sejak 14 Mei 2022 lalu.

Kabung Fefrase merupakan telaga yang diyakini oleh orang Kuri adalah tempat bersejarah yang didalamnya terdapat satu rumpun sagu yang berada di tengah telaga.

“Sagu itu tidak tinggi, tidak besar, hanya begitu saja, hanya satu pohon itu saja,” ujar Yordan Werfete selaku tokoh masyarakat yang hadir membantu masyarakat adat dari marga Werbete di Bintuni melalui keterangan tertulis, Senin (16/5/2022)

Penampakan telaga yang diduga adalah Kabung Fefrase yang merupakan salah satu situs sejarah Masyarakat Kuri. Foto : Dok Istimewa

Menyikapi kondisi Kabung Ferfrase, komunitas masyarakat adat marga Werbete beserta perwakilan keluarga dari marga lain yang berada di wilayah adat Kuri melakukan blokade di wilayah tempat sejarah Kabung Fefrase, Senin.

Dalam keterangannya, masyarakat adat mengonfirmasikan bahwa, beberapa saat sebelum pemalangan terjadi, mereka menemukan karyawan PT WS sedang melakukan aktivitas penebangan pada wilayah yang dianggap sakral tersebut.

Adapun alasan pemalangan adalah komitmen PT WS terkait komitmen perlindungan kawasan Nilai Konservati Tinggi (NKT) ternyata tidak sesuai dengan apa yang dikerjakan.

“Makanya kami sebagai petuanan bertindak sesuai aturan adat yang berlaku,” tegas tokoh pemuda Sander Werbete.

Semua imbas ini, lanjutnya, tetap akan mengena kepada Dinas Kehutanan (Papua Barat) dan perusahaan.

Papan informasi kawasan NKT yang diduga terjadi penebangan di dalam kawasan tersebut. Foto : Dok. Istimewa

“Karena kami duga kontrak kerja antara kehutanan dan perusahaan itu menipu masyarakat, maka itu kami memalang untuk hak-hak yang perusahaan dan dinas gelapkan secara aturan. Maka perusahaan dengan dinas kehutanan harus diselesaikan,” ujarnya.

Sander Werbete mengisahkan legenda Kabung Fefrase diyakini sebagai telaga yang berpindah-pinhda sehingga susah mencari telaga tersebut.

“Oleh karena itu kami meyakini bahwa tempat tersebut merupakan tempat sakral masyarakat,” ujar Sander yang juga anak sulung dari Yakob Werbete (petuanan marga Werbete)

Tokoh pemuda lain, Niklas Werbete menerangkan, bahwa awal 2022, dirinya telibat melakukan pengecetan wilayah sakral Kabung Fefrase. Pengecetan itu dilakukan bersama dengan PT WS.

”Kami sudah menandai batas tersebut tapi saat ini PT WS telah melanggar batas tersebut dengan menebang dan membuat jalan logging di dalam wilayah yang kami anggap keramat,” bebernya.

Tokoh perempuan Kuri, Magdalena Riensawa dan Ana Riensawa yang bermukim di Kampung Wagen—masuk wilayah penebangan PT WS, turut merasakan dampak akibat aktivitas perusahaan.

“Dulu kali (baca: sungai) itu air jernih. Sekarang ini perusahaan sudah bongkar jadi kalau hujan sedikit itu air kabur, kalau mancing susah juga jarang dapat,” ucap Magdalena dan Ana.

Menurut kedua perempuan Kuri ini, sebelum perusahan masuk, masyarakat saat mencari ikan bisa mendapatkan hasil yang lumayan banyak. Kendati demikian, kondisi itu sudah berubah.

“Kalau balobe (mencari ikan) itu pasti dapat, sekarang ini hujan sedikit kabur tra (baca: tidak) bisa dapat karena banyak jalan doser. Tra bisa pake air kali juga untuk masak hanya pake air hujan saja karena air kabur. Macam di kali kasar itu hujan sedikit, air kali macam warna tanah begitu jadi tra bisa pake untuk masak,” sambung Magdalena dan Ana.

Perwakilan masyarakat adat Werbete mendesak dinas kehutanan provinsi Papua Barat dan PT WS menginisiasi segera dilakukan pertemuan. Ditambahkan tokoh pemuda Kuri, Roy Masyewi, masyarakat adat marga Werbete meminta tempat pertemuan agar tidak berada di lokasi PT WS. Dirinya menegaskan, aspirasi masyarakat adat menghendaki tempat pertemuan harus netral, seperti di dinas kehutan provinsi di Manokwari.

“Agar proses pertemuan dapat berjalan dengan baik. Selain itu terkait waktu pertemuan masyarakat mengusulkan untuk dapat dilakukan pertemuan pada pekan ini. Karena masyarakat menyampaikan bahwa palang tidak bisa dibuka jika tidak ada pertemuan,” katanya.

Berkaitan dengan aspirasi pertemuan, masyarakat berharap pihak dinas dan PT WS segera mengeluarkan undangan resmi dan tertulis kepada masyarakat di kampung. Pihak dinas dan perusahaan juga diharapkan dapat mendukung biaya kepada masyarat untuk sampai di Manokwari dalam rangka pertemuan.

Dikatakan, biaya tersebut harus diberikan kepada masyarakat dan biarkan masyarakat yang membayarkan sendiri kebutahannya, seperti pembayaran transportasi dan penginapan di Manokwari.

“Ini bertujuan untuk menjaga netralitas karena kerap terjadi ketika pertemuan, masyarakat selalu kalah karena perusahaan yang memfasilitasi secara langsung kebutuhan masyarakat bukan masyarakat yang dipercayakan,” pungkasnya. (*/PK-01)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *