Lingkar Studi Papua
Kelompok Lingkar Studi Papua (LSP), Perhimpunan Pelajar Indonesia di UK (PPI-UK). Foto : Istimewa

LSP: Kapasitas Pendidikan Tinggi di Papua Perlu Mendapat Perhatian

Diposting pada

MANOKWARI, PAPUAKITA.COM— Kelompok Lingkar Studi Papua (LSP), Perhimpunan Pelajar Indonesia di UK (PPI-UK), menyoroti pengembangan pendidikan tinggi di Papua. Hal itu disampaikan dalam seminar tahunan ke-empat yang digelar di Universitas of Nottingham, Inggris pada 22 Juni 2019 lalu.

Seminar kali ini menghadirkan dua narasumber, yakni Rektor Universitas Cendrawasih, Dr. Apolo Safanpo dan Staf Ahli Menlu RI, Dr. Teuku Faizasyah dengan membahas tema “Transformasi Perubahan Pendidikan Papua melalui Kerjasama”. Dipandu oleh Arie Ruhyanto, kandidat PhD dari University of Birmingham.

Ketua LSP (2018-2019), Yuliagnis Wijaya melalui siaran pers yang diterima redaksi, Selasa malam (25/6/2019) menjelaskan, topik pendidikan di Papua telah dibahas secara berkesinambungan pada beberapa seminar sebelumnya dan menunjukkan tingginya perhatian LSP pada upaya pengembangan SDM dan pendidikan di Papua.

Di usianya yang masih relatif muda, LSP telah aktif mengadakan kajian tahunan dan mengeluarkan beberapa rekomendasi kepada Pemerintah antara lain studi “Pembangunan Papua Melalui Pendidikan”.

Menurutnya, pada tahun 2017, LSP menerbitkan rekomendasi kebijakan perbaikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat Korowai menyusul terjadinya krisis kesehatan di wilayah Selatan Papua tersebut.

LSP, yang merupakan bagian dari Perhimpunan Pelajar Indonesia di United Kingdom (PPI-UK) memanfaatkan keberagaman disiplin ilmu para anggotanya dalam memperkaya analisa dan diskursus kajiannya.

Dalam uraiannya, Apolo Safanpo mengemukakan bahwa angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Papua masih cukup rendah dengan hanya sekitar 18%. Angka ini jauh di bawah rata-rata nasional sebesar 31,5%. Dengan kata lain ada lebih dari 80% anak-anak muda Papua usia kuliah yang belum dapat terakomodasi di jenjang pendidikan tinggi.

Hingga tahun 2014, dari 300 ribu lebih putra-putri Papua berusia antara 19-24 tahun, hanya sekitar 60 ribuan orang yang dapat mengenyam pendidikan tinggi baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta di Provinsi Papua.

Minimnya kesempatan terhadap pendidikan tinggi antara lain disebabkan karena daya tampung perguruan tinggi di Papua yang tidak seimbang dengan laju pertambahan penduduk Papua.

Di samping minimnya daya tampung dan keterbatasan infrastruktur perkuliahan, persoalan mendasar yang dihadapi oleh perguruan tinggi di Papua adalah terkait tenaga pengajar. Hingga saat ini rasio dosen dan mahasiswa di Papua masih jauh di bawah standard yang ditetapkan oleh Kemenristekdikti.

“Saat ini seorang dosen di Uncen, misalnya, harus mengajar lebih dari 200 orang mahasiswa, sedangkan idealnya rasio dosen – mahasiswa adalah 1:50 untuk bidang studi eksak dan 1:30 untuk bidang studi sosial”, kata Apolo Safanpo.

Fokus perhatian pemerintah terhadap pendidikan di Papua selama ini telah banyak dicurahkan pada pendidikan dasar dan menengah dan cenderung mengesampingkan jenjang perguruan tinggi.

Padahal perguruan tinggi sebenarnya merupakan lokomotif penggerak pengembangan sumberdaya manusia dengan kapasitasnya mencetak tenaga-tenaga pendidik, tenaga-tenaga kesehatan, dan sebagainya.

Menurut Apolo Safanpo, diperlukan sinergi dan koordinasi yang baik antar Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan perguruan tinggi. Pemanfaatan dana Otonomi Khusus untuk mengirim pelajar Papua ke luar negeri juga kiranya perlu dicermati secara lebih mendalam.

Proses tersebut menurutnya harus dilakukan secara lebih selektif, misalnya untuk program-program studi yang belum ada tersedia di dalam negeri. Selebihnya dapat diarahkan untuk meningkatkan kapasitas perguruan tinggi dalam negeri, khususnya di Papua.

Pada kesempatan yang sama, Teuku Faizasyah, melihat bahwa fokus pemerintah selama 5 tahun ke depan untuk mengembangkan SDM nasional merupakan momentum yang tepat dalam upaya peningkatan kapasitas pendidikan tinggi di Papua.

“Isu pendidikan selalu menjadi agenda bahasan dalam pembicaraan kerja sama bilateral dengan negara lain,” ujar mantan Duta Besar RI untuk Kanada seraya memberikan contoh bahwa kerja sama pendidikan telah ada sejak jaman Colombo Plan tahun 1950-an.

Mantan staf khusus Presiden SBY bidang politik luar negeri ini juga mengatakan bahwa baru-baru ini, Menteri Luar Negeri RI dengan Menlu Inggris kembali menegaskan komitmen dukungan Inggris terhadap pengembangan SDM Indonesia.

Pendidikan vokasi kembali dilirik sebagai salah satu alternatif pengembangan SDM yang mandiri dan berjiwa wirausaha. Selain dengan Inggris, Indonesia juga telah memiliki kerja sama pendidikan vokasi dengan Jerman, Jepang, dan Polandia.

Disamping pembangunan infrastruktur perguruan tinggi, para pelajar yang akan dikirim keluar negeri juga perlu didukung melalui bridging programme yang dapat didukung oleh “diaspora” pelajar Papua di luar negeri.

Faizasyah mengatakan bahwa generasi muda saat ini memiliki kesadaran sosial lebih tinggi. LSP, yang keberadaannya juga diinisiasi oleh mahasiswa-mahasiswa Papua di Inggris Raya, dapat turut berkontribusi misalnya melalui penanaman motivasi maupun pengenalan kultur akademik di luar negeri. (*/RBM)