MANOKWARI, PAPUAKITA.com—Peredaran ikan yang didatangkan dari luar Kabupaten Manokwari dan diperjualbelikan di pasar-pasar tradisional tidak dilengkapi dengan Surat Keterangan Asal Ikan (SKAI), cukup marak. Selain merugikan daerah dari sisi pendapatan retribusi, ikan yang didatangkan tersebut tidak bisa dijamin kualitasnya apakah aman untuk dikonsumsi atau tidak.
Hal itu terkuak saat perwakilan Kelompok Pedagang Ikan Pasar Wosi beraudiens dengan Komisi B di kantor DPRD kabupaten Manokwari, Selasa (17/3/2020). Dalam kesempatan itu, Ketua Komisi B Alosius Siep, didampingi wakil ketua komisi Suriyati Fasial serta sejumlah anggota.
“Administrasi atau perizinan penjualan ikan yang berasal dari luar Manokwari perlu ditertibkan. Pendistribusian ikan ini kurang perhatikan kualitas, hal ini memicu penilaian negatif masyarakat terhadap penjual ikan,” ujar salah seorang pedangan pasar ikan.
Masih sumber yang sama, dia meminta DPRD mendesak pemerintah daerah melalui instansi terkait menertibkan para pemasok ikan tanpa dokumen perizinan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
“Transportasi jalur Sorong-Manokwari aktif, distribusi ikan tidak terkontrol,” tutur sumber itu.
Aspirasi lain yang disampaikan perwakilan kelompok pedagang ikan, adalah penarikan retribusi Rp5.000 per hari, dimana telah berlaku sejak 2017 lalu.
Kendati demikian, penarikkan retribusi belum berbanding lurus dengan pelayanan yang dirasakan para pedagang, misalnya penyediaan tempat jualan yang cukup representatif.
“Retribusi awalnya Rp2000 tetapi naik menjadi Rp5000, hari minggu pun dibayar. Sementara tempat jualan tidak memadai, hujan, kehujaan. Panas, kepanasan. Kami dari Manokwari kirim ikan ke luar pakai surat-surat. Tetapi yang lain tidak. Ikan-ikan dari luar itu kadang dibongkar pakai truck dan hillux,” ucap Koordinator kelompok, Muhammad Kasim.
“Dinas terkait perlu menertibkan permasalahan ini. Melalui lembaga legislatif ini, kami mita dibuatkan pasar, apa adanya saja. Walaupun lantai kasar dan atap saja tetapi saat berjualan kita tidak kehujanan dan kepanasan,” sambung Muhammad Kasim.
Aloysius Siep mengatakan, penataan pedagang ikan di pasar wosi merupakan pokok masalah, termasuk penyediaan tempat jualan yang representatif.
“Kita akan lihat pasar ikan yang lama, apakah perlu ditata dengan mengubah meja yang dikeluhkan terlalu tinggi atau memindahkan kontainer-kontainer sampah yang ada dekat pasar ikan. Ini tugas pemerintah daerah, pedagang sudah bayar retribusi sehingga pelayanan harus berbading lurus,” kata Siep.
Menjawab keluhan pedagang ikan soal penataan pasar Wosi lebih baik, Siep menyatakan, masalah yang ada di tersebut sangat komplek.
Mulai dari pungutan liar, penggunaan lahan parkir menjadi tempat jualan, penempatan los-los jualan yang tidak sesuai dengan peruntukkan maupun aturan main.
Semua itu, ujar Siep, sudah beberapa kali disampaikan kepada dinas terkait. Bahkan, lanjut Siep, persoalan yang sama juga disampaikan Asosiasi Pedangan Pasar Sanggeng sekira Januari lalu.
“DPRD sudah sampaikan agar dinas Perindagkop membentuk UPT pasar. Pengutan ‘iuran’ oleh pemilik ulayat juga masalah, ini jadi catatan. Bagian ini sangat penting ditindaklanjuti. Perindagkop perlu bentuk tim. Karena masalah pasar Wosi komplek, bukan saja soal pasar ikan, jalan juga sudah dipakai untuk berjualan,” ujar Siep.
“Proges penataan pasar Wosi dan Sanggeng sangat lamban. Kami mau turun ke pasar tetapi malu, karena sudah turun beberapa kali. Tapi belum ada progres dari hasil pembahasan dengan dinas Perindagkop. Tolong pasar ditata dengan baik karena sudah berikan PAD. Tempat jualan kurang pas. Penertiban ikan dari luar sudah ada aturan yang jelas. Ini Perlu ditindaklanjuti,” tutupnya.
Berkaitan dengan pembentukkan UPT, Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindagkop, Frengky Saiba mengatakan, upaya menghadirkan UPT pasar telah ditindaklanjuti sejak 2019 lalu. Saat ini, tengah dilakukan kajian akademis.
Kepala Dinas Perhubungan Perikanan dan Kelautan Albert Simatupang mengatakan, pengawasan terhadap ikan yang didatangkan dari luar daerah menjadi sebuah dilema.
“Ketika ikan masuk dan dijual di Manokwari, ikan-ikan itu kadang masuk di malam hari, bahkan subuh. Siapa yang menerima ikan-ikan ini? Kami miskin pengawasan, miskin SDM. Tetapi bukan diam. Saat ini, kami fokus pengawasan di bandara untuk kepiting dan tuna. Pengawasan ikan dari Biak, Numfor, dan Bintuni belum diawasi optimal,” ujarnya.
Kepala Bidang Perikanan Dinas Perhubungan Keluatan dan Perikanan Paulus Wiyai mengatakan, permasalahan pasar ikan sudah ada sejak 1998 silam, dimana saat itu terjadi pertikaian antara pendagang ikan dengan masyarakat pemilik ulayat.
“Ikan yang didatangkan dari luar daerah sangat mempengaruhi harga ikan tetapi kewenangan pengawasan serta uji mutu ikan ada pada dinas di level provinsi. Ikan yang didatangkan tanpa SKAI sangat merugikan daerah, perlu rergulasi untuk menertibkan masalah ini,” ujarnya.
Paulus Wiyai menyatakan, segera pihaknya akan berkoordinasi dengan dinas perikanan di level provinsi terkait pengawasan. Ia mengatakan, sejak Januari-Februari baru delapan SKAI yang dikeluarkan.
“Kami jujur bari ambil data pedagang ikan. Pasar ikan yang ada saat ini tidak layak. Bantu data untuk tertibkan ikan yang masuk dari luar biasa, saya dan tim akan minta surat tugas dari kepala dinas untuk melakukan pengawasan,” katanya.
Keberadaan pasar ikan yang digunakan oleh pedagang saat ini awalnya dianggap hanya tempat temporer. Terkait retribusi Rp5.000, Simatupang berjanji akan dikoordinasikan dengan Bappenda. Dirinya meminta dukungan lintas OPD dan pedagang untuk menertibkan pedagang ikan yang tidak berjualan di pasar ikan.
“Anggapan awal, kami kira pasar ikan yang ada saat ini temporertetapi sudah ada sejak 2006. Meski demikian kondisinya seperti merana. Bidang perikanan ini miskin regulasi dan miskin data, ini terjadi hampir di seluruh daerah, karena tupoksi perikanan sudah dilimpahkan ke tingkat provinsi,” tutup Simatupang. (ARF)