Kepala Suku Maybrat di Manokwari, Marthen Nauw (kedua dari kanan) saat memberikan pernyataan pers. Foto : TRI

Marthen Nauw: Kain Timur adalah Harkat dan Martabat Orang Maybrat

Diposting pada

MANOKWARI, PAPUAKITA.comKepala suku Maybrat di Manokwari, Marthen Nauw, sesalkan sikap salah seorang warga Maybrat yang menggunakan kain timur sebagai alas kaki, saat menjamu salah satu pasangan calon Pilkada Manokwari di lokasi Pabrik Kelapa Sawit, di Distrik Prafi, beberapa waktu lalu.

Beredar foto dan video di media sosial (facebook), memperlihatkan kain timur diinjak sebagai alas kaki untuk menyambut kedatangan calon Bupati Manokwari (Sius Dowansiba).

Marthen Nauw menyatakan, kemarahannya bukan terkait dengan dukungan politik yang diberikan, karena hal itu menjadi hak setiap warga negara.

Sangat disayangkan, kata dia, sikap masyarakat yang mengatasnamakan warga Maybrat yang tidak memahami budaya dan makna dari kain timur bagi masyarakat Maybrat.

“Kami melihat menurut adat Maybrat ada kejanggalan. Kami tidak tahu mereka tahu adat atau tidak, karena sudah membuat harga diri dan jati diri orang Maybrat seperti hilang,” ujar Marthen Nauw saat memberikan keterangan pers, Kamis (8/10/2020).

Menurutnya, dalam menentukan hak politik, siapapun tidak bisa melarang. Itu menjadi kebebasan, tetapi adat istiadat harus dijunjung tinggi.

Dalam kesempatan ini, Marthen Nauw yang didampingi oleh Ketua Tim Aliansi Mahasiswa Maybrat, Yohanis Turot, Sub Kepala suku Aitinyo Yusak Kambuaya, Sub kepala suku Ayamaru, Soleman Sikirit, dan Sub kepala Suku Mare, Adrianus Hara.

Marthen Nauw menyatakan, perwakilan masyarakat adat Maybrat akan mengunjungi lokasi tersebut untuk mempertanyakan langsung hal ini kepada warga Maybrat terkait.

“Kalau pilihan politik itu sah-sah saja, tidak boleh diintervensi oleh siapapun dan menjadi hak masyarakat. Namun mengatasnamakan masyarakat Maybrat, dan kain timur adalah harkat dan martabat orang Maybrat, orang Maybrat tidak akan menginjak kain timur,” tuturnya.

Diketahui, kain timur bagi masyarakat Maybrat menunjukkan keberadaan status sosial, meskipun tidak diproduksi langsung di wilayah tersebut, akan tetapi sejak masa lampau telah dihargai keberadaannya.

“Kami tidak akan melakukan tuntutan ataupun denda adat, karena itu masyarakat kami sendiri. Kami hanya ingin mendapatkan pejelasan dari mereka terkait apa alasan mereka sampai melakukan hal seperti itu,” tandas Marthen Nauw. (TRI)