Pembukaan
Antara Legitimasi dan Kerentanan
Prabowo Subianto memasuki kursi kepresidenan 2024–2029 dengan legitimasi politik yang kuat di atas kertas, koalisi besar, dukungan mayoritas parlemen, dan citra sebagai pemimpin nasionalis yang tegas.
Namun, sejarah politik Indonesia mengajarkan bahwa kekuatan di awal tidak menjamin kelanggengan di tengah jalan. Banyak presiden sebelumnya, dari Soekarno hingga Abdurrahman Wahid, pernah merasakan bagaimana kekuatan elite, dinamika parlemen, dan tekanan internasional dapat memotong masa jabatan seorang kepala negara.
Bagi Prabowo, risiko ini nyata. Ada tanda-tanda bahwa kekuatan yang membawanya ke puncak juga bisa menjadi faktor yang menjatuhkannya.
1. Koalisi Gemuk Kekuatan atau Bom Waktu
Prabowo memimpin dengan koalisi “super majority” di DPR. Tetapi sejarah membuktikan bahwa koalisi besar seringkali justru rawan perpecahan. Partai-partai pendukung tidak selalu setia, mereka cenderung berpihak pada kepentingan pragmatis, apalagi menjelang Pemilu berikutnya nanti.
2. Ancaman dari dalam
Partai politik yang merasa kontribusinya kurang diakomodasi dalam kabinet bisa menjadi oposisi dalam diam.
3. Dominasi figur lain
Tokoh-tokoh besar dalam koalisi, termasuk yang memiliki basis massa dan akses media besar, berpotensi mengambil alih panggung politik bila popularitas Prabowo menurun.
4. Faktor Gibran
(Simbiosis dalam Kompetisi Terselubung)
Kehadiran Gibran Rakabuming Raka sebagai Wapres adalah fenomena politik unik, sekaligus rumit.
Di satu sisi, Gibran adalah “pengaman” hubungan dengan keluarga Jokowi. Di sisi lain, ia adalah simbol suksesi politik yang bisa dipercepat jika publik merasa kinerja Prabowo tidak memuaskan.
Sejarah menunjukkan bahwa relasi Presiden-Wakil Presiden di Indonesia sering berakhir retak, Megawati–Gus Dur, JK–SBY, bahkan Boediono–SBY sempat mengalami jarak.
Jika Gibran melihat peluang politik untuk naik sebelum 2029, ia punya dukungan elite dan infrastruktur politik yang siap bergerak.
5. Oposisi Terselubung dan Permainan Intelijen
Prabowo adalah mantan perwira tinggi TNI dengan pengalaman kontra intelijen. Ia tentu memahami bahwa ancaman bagi presiden tidak hanya datang dari jalanan atau oposisi formal, tetapi juga dari operasi politik bawah tanah:
1. Fraksi kekuasaan lama yang masih bercokol di birokrasi dan militer bisa memanfaatkan isu ekonomi, HAM, atau kebijakan luar negeri untuk menggerus legitimasi Presiden Prabowo Subianto.
2. Operasi framing media Popularitas Prabowo sangat bergantung pada persepsi publik. Kampanye hitam atau serangan isu masa lalu bisa diaktifkan sewaktu-waktu.
3. Tekanan internasional Kebijakan luar negeri yang condong ke salah satu blok geopolitik bisa memicu tekanan dari pihak lain, yang berimbas pada stabilitas domestik.
4. Risiko Krisis Ekonomi dan Sosial Faktor paling efektif untuk menjatuhkan presiden di tengah jalan adalah krisis ekonomi.
Indonesia masih rentan terhadap:
1. Fluktuasi harga pangan dan energi
2. Nilai tukar rupiah yang melemah
3. Kesenjangan sosial yang melebar
Jika kombinasi faktor ini memunculkan gelombang protes nasional, DPR punya alasan kuat untuk memulai proses pemakzulan. Ingat, di era reformasi, MPR/DPR sudah terbiasa memotong masa jabatan presiden dengan dalih “mengatasi krisis nasional”.
6. Bayangan Masa Lalu dan Politik Balas Budi
Prabowo memiliki sejarah panjang dalam dunia politik dan militer. Musuh lamanya mungkin tak pernah benar-benar hilang. Dalam politik Indonesia, dendam politik bisa bertransformasi menjadi strategi penggulingan, terutama bila ada momentum yang tepat.
Selain itu, politik balas budi juga memiliki sisi gelap, mereka yang merasa telah “membantu” Prabowo menang akan menuntut balasan besar. Jika tuntutan itu tak terpenuhi, mereka bisa berbalik menjadi lawan.
Penutup
Antara Bertahan dan Tumbang
Prabowo Subianto memang punya reputasi sebagai sosok yang keras, disiplin, dan tak mudah ditundukkan. Namun, medan politik Indonesia pasca-reformasi adalah arena di mana kawan dan lawan bisa bertukar tempat dalam semalam. Risiko dikhianati dan diturunkan di tengah jalan bukanlah skenario fiksi, melainkan realitas politik yang harus diantisipasi.
Bertahannya Prabowo hingga akhir masa jabatan sangat bergantung pada:
1.Kemampuan menjaga koalisi tetap solid.
2. Kecakapan mengelola hubungan dengan Gibran dan keluarga Jokowi.
3. Strategi meredam krisis ekonomi dan sosial.
4. Kemampuan mengendalikan opini publik dan mengantisipasi operasi politik bawah tanah.
Sejarah politik Indonesia mengajarkan, di negeri ini, masa jabatan presiden tidak hanya diukur oleh kalender, tapi juga oleh kesetiaan kekuasaan dan daya tahan menghadapi badai intrik.
Benz Jono Hartono
Praktisi Media Massa di Jakarta