MANOKWARI, PAPUAKITA.com – Kesaktian Pancasila hebat dan sudah terbukti mampu menjadi pemersatu bangsa Indonesia, bangsa yang beragam etnis, budaya, dan agama.
Demikian diungkapkan Staf Ahli Fraksi Golkar DPR RI, Viktor J. May. Ia mengatakan, Pancasila sudah mencakup semua hal. Representatif agama, budaya, dan etnis.
“Kesaktian pancasila hebat, sudah teruji. Sudah dipikirkan sesuai kondisi bangsa yang majemuk ini. Kita tidak sekadar melafalkan saja, tetapi harus memahami dan memaknai nilai-nilai luhur Pancasila,” katanya.
Viktor menjadi pembicara menggantikan posisi Anggota DPR RI Daerah Pemilihan Papua Barat, Robert J. Kardinal dalam dialog kebangsaan yang dikemas dalam tema “memasyarakatkan pancasila. Memasyarakatkan persantuan bangsa. Dialog ini terselenggara atas kerjasama Kemenkominfo dengan DPR RI.
Hadir sebagai narasumber lain, yakni Tenaga Ahli Teknis Komunikasi Ditjen. Informasi Komunikasi Publik (IKP) Kemenkominfo, Ismail Chawidu, Dosen Fakultas Sastra dan Budaya, Unipa. Dan menjabat Ketua Pusat studi Bahasa dan Lembaga Adat Papua, Adolof Ronsumbre.
“Demokrasi Pancasila sudah selesai, final. Implementasi Pancasila yang terus harus disempurnakan,” kata Ismail Chawidu yang adalah dosen komunikasi pada salah satu Kampus di Jakarta.
Adolof Ronsumbre mengatakan, merawat bhineka tunggal ika sama hal dengan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Meski demikian, lanjut Adolof, Pancasila masih sebatas dalam paparan retorika. Hanya sedikit terimplementasi dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Kekuatan bangsa ini adalah keberagaman. Yang menjadi point penting adalah bagaimana mengatur dan mengelola perbedaan. Substansinya adalag bhineka tunggal ika,” ujar dia.
Dalam konteks negara, keberagaman yang dimiliki bangsa Indobesia adalah sebagai kekuatan negara. Tetapi negara saat ini, justru tidak mengetahui kekuatan ini.
Faktanya, kita tidak tahu data base kebudayaan. Dan tak memiliki strategi kebudayaan nasional. Isu sentral dalam negara ini juga masalah integrasi. Dalam konteks ini, saya melihat negara sedang sakit,” paparnya.
Adolof membeberkan, tantangan bhineka tunggal ika dalam masa kekinian adalah, masih terjadinya rasisme, isu SARA – yang masih dipakai dalam praktik kehidupan. Misalnya, isu SARA digunakan dalam pilkada.
“Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi dengan power kita ini pada masa 20 tahun mendatang. Bhineka Tunggal Ika sedang sakit,” tandasnya.
Adolof menambahkan, merawat bhineka tunggal ika bisa dilakukan dengan konsep Sumpah ethnik : semua masyarakat turun pembangunan ramah bhineka tunggal ika -harus mengikuti konteks lokal.
“Pembangunan yang ramah bhineka tunggal ika akan sukses merawat bhineka tunggal ika dan menjaga NKRI. Pembangunan yang tidak ramah bhineka tunggal ika pasti tidak akan sukses,” pungkasnya. (RBM)