MANOKWARI, PAPUAKITA.com—Perwakilan Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat (MRPB), Maxsi Nelson Ahoren yang ditunjuk untuk masuk dalam keanggotaan Panitia Seleksi (Pansel) calon anggota DPR Papua Barat (DPRPB) melalui mekanisme pengangkatan dalam kerangka Otonomi khusus, dinilai prosedural dan sesuai dengan amanat Perdasus No 4 tahun 2019.
Meski demikian, Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan melalui Biro Hukum telah menerbitkan SK Nomor 188.4-4/278/12/2019 terkait pemberhentian Maxsi Nelson Ahoren sebagai Pansel calon anggota DPRPB melalui mekanisme pengangkatan priode 2019-2024. SK tersebut disoroti karena dinilai cacat hukum.
Staf Ahli MRPB, Abdul Solichin, Rabu (15/1/2020) menyoroti SK pemberhentian tersebut. Ia menilai SK itu cacat hukum. Solichin mengatakan, status Maxsi Nelson Ahoren selaku Ketua MRPB saat memimpin lembaga, saat ditunjuk dalam pansel dirinya mewakili masyarakat adat.
“Keputusan pleno pertama, masyarakat adat memilih Pak Obeth Ayok. Tetapi beliau mengundurkan diri. Ini ditandai dengan mengirim surat kepada MRPB sebagai lembaga perwakilan masyarakat adat. Setelah menerima surat pengunduran, MRPB melaksanakan pleno kedua, untuk mencari satu orang mewakili masyarakat adat,” jelas Solichin.
“Waktu yang sempit, MRPB harus mencari satu orang untuk mewakili masyarakata adat. Jadi kendalanya adalah waktu yang sangat sempit. MRPB tidak memiliki anggaran untuk mengonsolidasikan masyarakat atau menggelar kegiatan besar yang mengundang semua lembaga-lembaga masyarakat adat dari 13 kabupaten dan satu kota untuk memilih perwakilan mereka dalam pansel,” sambungnya.
Dalam perspektif Solihin, proses dan situasi MRPB, ini jauh berbeda dengan kewenagan DPRPB untuk menunjuk perwakilan akademisi masuk dalam pansel. Menurut Solichin, penunjukan Maxsi Nelson Ahoren sebagai anak adat di wilayah III Doberay, juga merupakan langkah tepat yang diambil oleh perwakilan masyarakat adat yang duduk di MRPB.
“Penunjukan Maxsi Ahoren oleh perwakilan masyarakat adat di lembaga MRPB ini sudah mempertimbangkan situasi politik Papua dan kamtimbas. Kemudian MRPB mengambil kesimpulan bahwa tidak ada jalan lain, MRPB merupakan representatif kultur sehingga bisa menunjuk perwakilan adat dari lembaga ini,” ujar dia.
Penunjukan Maxsi Nelson Ahoren menjadi polemik. Gubernur melayangkan surat meminta keputusan MRPB tersebut ditinjau ulang. Surat pertama Gubernur Papua Barat Nomor 816/2060/GPB/2019 tanggal 20 November 2019. Inti surat itu meminta MRPB untuk meninjau kembali penunjukan Maxsi Neslon Ahoren dalam pansel.
Kemudian, MRPB balas menyurati gubernur. Melalui surat Nomor 052/50/MRP-PB/IX/2019 tanggal 20 November, disampaikan beberapa alasan terkait pemilihan Maxsi Nelson Ahoren.
“Setelah surat itu masuk tidak ada komunikasi dari pihak gubernur, kesbangpol ataupun Biro Hukum ke MRPB. Tiba-tiba muncul SK terkait pemberhentian Maxsi Nelson Ahoren,” ujar Solichin lagi.
Menurut Solichin, substansi dari SK pemberhentian yang dikeluarkan Biro Hukum, itu sama seperti surat pertama gubernur Papua Barat. Di mana, isinya pertama, menyatakan bahwa MRPB tidak menaati Perdasus Nomor 6 tahun 2012. Kedua, MRPB menyalahi ketentuan.
“Kalau kita bicara tentang ketaatan dan kesungguhan menjalankan produk hukum daerah, seperti perda atau perdasus serta perdasi. SK gubernur tersebut justru banyak yang tidak taat pada peraturan-peraturan daerah yang ada,” terang Solichin.
Solichin mencontohkan, pelaksanaan Perdasus Nomor 6 tahun 2012 tentang pelaksanaan tugas dan wewenang MRPB, pada pasal 12 ayat (2) yang menyatakan bahwa Raperdasus yang tidak memperoleh persetujuan dari MRPB tidak dapat ditetapkan menjadi Perdasus.
“Ini merupakan kesalahan gubernur dan DPR Papua Barat, kalau bicara menyangkut ketaatan. Seharusnya Perdasus nomor 4 tahun 2019 tidak boleh ditetapkan dan diundangkan karena tidak mendapatkan persetujuan MRPB. Kenapa bisa ditetapkan? Jauh sebelum proses seleksi calon DPRPB Otsus dilaksanakan, ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh gubernur melalui biro hukum,” beber Solichin.
Di sisin lain, lanjut Solichin, massa jabatan anggota DPRPB jalur Otsus telah ditegaskan di dalam Perdasus nomor 4 tahun 2019, berakhir bersamaan dengan anggota DPRPB jalur politik. Ini gubernur telah melanggar Perdasus Nomor 4 tahun 2019 pasal 3 ayat (3) dan pasal 36 terkait massa jabatan DPRPB.
“Jadi bicara siapa taat dan tidak taat terhadap produk hukum. Gubernur yang tidak taat. Ini yang harus dipahami biro hukum. Akan tetapi ketidak taatan hukum tersebut tetap dibijaksanai oleh MRPB dengan tetap memperbolehkan Raperdasus yang tidak mendapatkan persetujuan tetap dapat diproses,” tuturnya.
Alasan membijaki pelanggaran-pelangaran tersebut, kata Solichin, MRPB mempertimbangkan kepentingan orang banyak terutama orang asli Papua. Sehingga sangat tidak adil ketika MRPB menggunakan ketentuan pasal 1 huruf (g) UU No 21 tahun 2001, dengan menunjuk Maxsi Nelson Ahoren menjadi anggota Pansel.
Gubernur melalui biro hukum diingatkan, agar dapat memberikan pertimbangan yang sehat dan bijaksana sebelum mengeluarkan SK pemberhentian tersebut. Pertimbangan dimaksud adalah meminta gubernur untuk mengundang MRPB termasuk DPRB. Membicarakan status Maxsi Nelson Ahoren sebagai bagian dari pansel.
Solichin menyatakan, MRPB telah menanggapi surat gubernur, harusnya surat MRPB ditanggapi juga secara tertulis atau ditanggapi secara dialogis. Akan tetapi bukan komunikasi yang dibangun melaikan secara tiba-tiba mengeluarkan surat pemberhentian.
“MRPB ini lembaga yang setara dengan gubernur, tidak bisa dipandang bawahan gubernur. Ini harus diperhatikan, gubernur melantikan MRPB atas nama Menteri Dalam Negeri karena gubenur adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat. Bukan berarti kemudian biro hukum atau gubernur atau siapa pun mau mengatakan bahwa gubernur lebih tinggi MRPB. Pemahaman beberapa kalangan ini keliru,” kata Solichin.
Solichin menegaskan, substansi surat pertama MRPB itu dan SK gubernur tersebut menyangkut etika komunikasi sesama anggota Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda). Untuk itu, sesama anggota Forkopimda harus saling menghormati.
Terpisah, anggota MRPB perwakilan adat, Yulianus Tebu mengatakan, penunjukan maupun pemberhentian Maxsi Nelson Ahoren dari Pansel calon anggota DPRPB jalur Otsus, sejatinya bukan dilatarbelakangi faktor suka atau tidak suka.
Kata dia, di dalam Perdasus No 4 Tahun 2019, MRPB diberikan kewenangan untuk menunjuk perwakilan adat.
“Kami pikir gubernur punya pikiran yang positif tentang lembaga MRPB. Demikian, MRPB pun juga punya pandangan yang positif terhadap gubernur.
Harus diketahui maunya gubernur seperti apa, kemudian MRPB punya mau seperti. Kita harus duduk sama-sama dan mencari solusi. Kami hanya mau mendengar apa alasan sampai hasil keputusan pleno MRPB itu dibatalkan,” katanya.
Kathebu menambahkan, polemik keangotaan pansel yang ditunjuk oleh MPRB harus diselesaikan secepatnya. Sehingga tidak menghambat proses dan tahapan seleksi, termasuk membuka celah hukum dalam proses seleksi calon anggota DPRPB melalui mekanisme pengangkatan. (ARF/ARI)