Demonstrasi penolakan kehadiran Tambang Nikel di Pulau Batang Pele dan Manyaifun, Kabupaten Raja Ampat
Demonstrasi penolakan kehadiran Tambang Nikel di Pulau Batang Pele dan Manyaifun, Kabupaten Raja Ampat. Foto : Tangkapan layar. Dok. PAPUAKITA.com

ALJARA tolak kehadiran tambang nikel di Pulau Batang Pele dan Manyaifun, Raja Ampat

Diposting pada

MANOKWARI, PAPUAKITA.com—Aliansi Jaga Alam Raja Ampat (ALJARA) menolak kehadiran tambang nikel di Pulau Batang Pele dan Manyaifun, Distrik Waigeo Barat, Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Penolakan dilakukan dengan aksi demonstrasi damai di Kantor DPRK Raja Ampat dan Kantor Bupati setempat, Senin (26/5/2025). Aliansi ini terdiri atas masyarakat adat, aktivis lingkungan, dan pelaku pariwisata.

Ambrosius Klagilit, Anggota Tim Advokasi Selamatkan Alam Raja Ampat, dihubungi papuakita.com mengatakan, aksi demonstrasi dan penolakan sudah dilakukan beberapa kali.

“Sepetinya DPRK Raja Ampat dan pemerintah daerah belum serius menyikapi penolakan masyarakat. Saat ini, kegiatan eksplorasi sudah dilakukan dengan pengambilan sampel di Pulau Batang Pele,” katanya.

Kata Ambrosius, PT Mulia Raymond Perkasa adalah korporasi yang mengantongi IUP (Izin Usaha Pertamabangan) untuk konsesi seluas 2.194 hektar. Izin tersebut telah terbit sejak 26 Februari 2013.

“Masyarakat awalnya tidak tahu kalau ada izin tambang di daerah mereka. Baru diketahui ketika ada aktivitas perusahaan yang melakukan pendekatan ke masyarakat sejak September 2024,” ujarnya.  

Dampak lingkungan dan ekonomi

Masa aksi, sebut Ambrosius, usai melakukan orasi di kantor DPRK Raja Ampat, bersama beberapa anggota dewan bertemu Bupati Raja Ampat.

“Dihadapan massa aksi, bupati menyampaikan bahwa kewenangan mengeluarkan izin pertambangan sudah tidak lagi berada di tingkat daerah (kabupaten). Massa mendesak IUP yang ada harus dicabut, karena IUP itu diteken oleh bupati pada saat itu,” ungkapnya.

Rencana kegiatan usaha ekstraktif di wilayah ini, dikhawatirkan menimbulkan kerusakan lingkungan hingga mengganggu mata pencaharian masyarakat lokal, serta mengancam eksistensi pariwisata Raja Ampat.

Wilayah yang telah masuk dalam konsesus ini, merupakan lokasi bagi pengusaha lokal mengambil bahan dasar pembuatan homestay untuk menunjang usaha pariwisata.

Hampir semua bahan pembuatan homestaye diambil di dari wilayah tersebut. Ini sangat mengkhawatirkan. Di sisi lain, wilayah  itu  juga tempat mencari ikan bagi nelayanan lokal

“Jika perusahaan masuk  dan beraktivitas maka ancamannya adalah pendapatan masyarakat akan terganggu dan alam menjadi rusak. Selama ini perekonomian masyarakat cukup terbantu  dengan usaha pariwisata,” ungkap Amborsius.

Menyalakan bara konflik

Kekhawatiran yang lebih besar dari rencana eksploitasi bijih nikel di pulau Batang Pele dan Manyaifun ini, justru menyalakan bara konflik di tengah masyarakat lokal. Sebab, kehadiran perusahan dengan rencana eskplotasi sumber daya alam tersebut mendapat pro dan kontra.

“Kondisi ini menimbulkan ketegangan di tengah masyarakat lokal. Pemerintah daerah sepertinya tidak menunjukkan sikap atas situasi yang ada dengan mengambil langkah menghentikan sementara aktivitas perusahaan dan menengahi konflik yang muncul antar masyarakat,” kata Ambrosius.

Letupan konflik semakin mengkhawatirkan. Hal itu tergambar dari aksi tandingan masyarakat yang pro dan kontra terhadap rencana pengambilan sumber daya alam tersebut. Prosesnya terus berjalan tanpa ada tanda-tandan penghentian sementara.

“Konflik sudah terjadi. Masyarakyat yang menolak tambang sudah melakukan penyegelan lokasi. Tetapi, masyarakat yang menerima justru yang membuka segel tersebut. Jadi, masyarakat sudah baku lawan dan berhadap-hadapan,” sebut Ambrosius.

Menjadi informasi, tercatat ada beberapa korporasi yang telah mengantongi IUP dan beroperasi di kabupaten Raja Ampat saat ini. Antara lain PT GAK Nikel dengan luas 13.136 hektar, terdiri atas daratan 6.060 hektare dan lautan 7.076 hektare. Luas daratan pulau ini 6.500 hektare.

PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) dengani Izin Usaha Pertambangan (IUP) Nikel laterit seluas 5.922 hektar2 . Kemudian, PT Anugerah Surya Pratama dengan luas konsesi IUP 9,365 hektare; PT MRP telah memiliki IUP dengan luas 2.194 hektar sejak tahun 2013.