Pembuka
Delapan puluh tahun lalu, umat Islam menebus kemerdekaan negeri ini dengan tetesan darah dan air mata. Mereka tak pernah meminta kursi, tak pernah menagih jabatan, dan tak pernah mengemis proyek. Mereka hanya ingin satu, “hidup merdeka di tanah sendiri.”
Tapi lihatlah kini, delapan dekade kemudian, kemerdekaan yang suci itu justru dipermainkan, ditukar, bahkan digadaikan oleh mereka yang duduk manis di kursi empuk kekuasaan.
Dari Resolusi Jihad ke Resolusi Bansos
Dulu, kiai dan santri mengobarkan Resolusi Jihad, tak peduli nyawa melayang.
Sekarang?
Elite politik mengobarkan resolusi bansos, tak peduli rakyat kelaparan, yang penting ada komisi. Bansos untuk rakyat miskin bisa dikorupsi, lalu mereka masih tega bicara soal nasionalisme di televisi.
Dari Bambu Runcing ke Bambu ATM
Pejuang Islam dulu mengangkat bambu runcing, menghadang tank dan senapan serdadu Belanda.
Elite hari ini mengangkat buku rekening dan kartu ATM hasil permainan proyek. Dari nikel sampai tambang emas, dari tanah ulayat sampai laut, semua dijadikan komoditas jual-beli, seakan negeri ini warisan pribadi.
Utang Luar Negeri Penjajahan Gaya Baru
Dulu kita perang melawan VOC dan kolonialisme. Sekarang, penjajahan datang dengan nama lebih sopan, utang luar negeri.
Elite kita tersenyum, menandatangani kontrak, lalu menyebutnya “investasi pembangunan”. Padahal, itu hanyalah borgol halus yang membuat anak-cucu kita jadi budak.
Dari Syuhada ke Mafia Politik
Umat Islam dulu ikhlas mati syahid tanpa pamrih. Hari ini, banyak elite rela “mati-matian” bukan demi rakyat, tapi demi jabatan.
Ada yang dulu lantang bicara oposisi, hari ini manis berkoalisi. Ada yang dulu bicara revolusi, kini revolusinya hanya di meja makan bersama oligarki.
Kemerdekaan yang Diperdagangkan
Republik ini ibarat rumah yang dibangun dengan darah syuhada. Ironisnya, setelah berdiri kokoh, rumah ini kini dipenuhi pencuri. Para politisi menjual pilar satu per satu:
1. Keadilan dijual demi kursi hakim dan transaksi hukum.
2. Kedaulatan ekonomi dilelang ke korporasi asing.
3. Amanah rakyat ditukar dengan amplop dan janji palsu.
Penutup
Saatnya Bangsa Bertanya Lagi
80 tahun lalu, umat Islam meneteskan darah agar negeri ini merdeka.
80 tahun kemudian, elite politik meneteskan tinta tanda tangan, agar negeri ini kembali tergadai.
Maka pertanyaan yang menggema di lorong sejarah adalah:
1. Apakah kemerdekaan ini milik rakyat yang berkorban, atau hanya milik elite yang rakus dan tak tahu malu?
2. Jika bangsa ini terus lupa, jangan salahkan sejarah bila suatu saat darah dan air mata kembali ditagih. Sebab pengkhianatan terbesar adalah melupakan siapa yang membebaskan negeri ini, lalu menyerahkannya lagi ke tangan penjajah, dengan wajah baru bernama korupsi, oligarki, dan utang.
Benz Jono Hartono
Praktisi Media Massa di Jakarta