MANOKWARI, PAPUAKITA.COM – Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia mengembalikan berkas kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat kasus Wasior berdarah (2001) dan kasus Wamena (2003). Selain itu berkas perkara yang dikembalikan adalah peristiwa 1965-1966, peristiwa Talangsari, Lampung 1998.
Peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, peristiwa Kerusuhan Mei 1998, peristiwa Penghilangan orang secara paksa 1997-1998 termasuk berkas pelanggaran HAM di Aceh, yakni peristiwa Simpang KAA 3 Mei 1999 di Provinsi Aceh, peristiwa Rumah Geudong dan Pos Sattis lainnya di Provinsi Aceh.

“Langkah Kejaksaan Agung mengembalikan sembilan berkas peristiwa pelanggaran HAM bisa menjadi faktor pemicu bagi pilihan membawa persoalan pelanggaran HAM berat Wasior dan Wamena serta kasus lainnya dengan menggunakan mekanisme regional maupun internasional,” kata pembela HAM di Tanah Papua, Yan Christian Warinussy kepada papuakita.com, Selasa (15/1/2019).
Pemilihan mekanisme tersebut dapat ditempuh. Alasannya tindakan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam mengembalikan berkas-berkas perkara dugaan pelanggaran HAM berat tersebut sama sekali tidak disertai petunjuk yang perlu dilengkapi Komnas HAM sebagai penyelidik dugaan pelanggaran HAM.
Menurut Warinussy, sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM sama sekali tidak terlihat adanya tindakan hukum yang dilakukan Kejagung dalam merubah status proses hukum dari penyeledikan ke penyidikan menuju kepada penuntutan sesuai amanat UU tersebut. Bahkan, Kejagung tidak bisa menentukan siapa atau institusi apa yang bertanggung jawab dalam kasus-kasus tersebut.
“Saya memandang bahwa negara Indonesia yang dipresonifikasikan dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo sama sekali tidak memiliki kemauan politik dan tidak memiliki rasa malu dan tidak memiliki rasa tanggung jawab dalam memenuhi komitmen dan janjinya dalam menuntaskan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Tanah Papua jelang akhir periode pertama pemerintahannya,” ungkap Warinussy.
Dirinya mengatakan, masyarakat Papua khususnya orang asli Papua sebagai korban pelanggaran HAM Wasior dan Wamena dapat mengambil langkah hukum dan politik dalam mendayagunakan mekanisme regional maupun internasional untuk mendorong dan mendesak kasus tersebut.
“Mekanisme regional misalnya melalui Melanesian Spearhead Group (MSG) atau Pacific Islanda Forum (PIF) di kawasan Pasifik maupun di kawasan Asia dan Eropah. Atau mekanisme internasional melalui Komisi HAM Internasional dan Dewan HAM PBB di Jenewa -Swiss maupun mekanisme Pengadilan Internasional. Ataupun mekanisme politik di Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB di New York,” beber Warinussy.
Untuk menempuh mekanisme itu, lanjut Warinussy, masih diperlukan kajian-kajian ilmiah dan hukum maupun politik untuk mempersiapkannya secara baik.
Dia memandang, pengembalian berkas kasus Wasior dan Wamena, yang mulai diselidiki oleh Komnas HAM RI sejak 2003 atau selama 15 tahun benar-benar menunjukkan bahwa negara tidak menghormati hak-hak asasi orang asli Papua sebagai warga negara yang menjadi korban pelanggaran HAM.
“Ini sekaligus pula menjadi sinyal negatif bagi hilangnya harapan rakyat Papua untuk menggapai keadilan dalam penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Enarotali, Paniai tahun 2014 dan Sanggeng, Manokwari 2016,” tutur Warinussy.
“Bahkan semakin menunjukkan secara terbuka bahwa tujuan reformasi 1998 yang salah satunya adalah penegakan hukum dalam konteks penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran HAM berat di Indonesia termasuk Tanah Papua tak akan pernah terjadi, siapapun Presidennya termasuk Joko Widodo maupun juga Prabowo Subianto,” tambah dia.
Warinussy mengatakan, tindakan pengembalian berkas kasus-kasus dugaan pelanggaraan HAM berat di Indonesia termasuk Wasior dan Wamena tersebut makin memperjelas posisi hukum dan politik kedua pasangan calon presiden yang akan tampil dalam debat pertama pilpres pada 17 Januari mendatang.
Warinussy menambahkan, kedua capres yang disokong oleh partai-partai politik haluan ultra nasionalis tak akan pernah mau menggali dan menyelesaian kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat seperti Wasior dan Wamena.
“Karena dikuatirkan bakal memicu terjadinya perpecahan bangsa dan negara berbentuk konflik politik yang bermuara pada suksesi yang bersifat anti demokrasi dan anti reformasi. Pada saat yang sama terus memupuk terjadinya impunitas yang abadi di dalam salah satu negara demokrasi besar di dunia bernama Indonesia,” tutup Warinussy. (ADL)