Tim Operasi Gabungan Tangkap Puluhan Penambang Ilegal di Hutan Lindung Remu

MANOKWARI, PAPUAKITA.com—Tim operasi gabungan terdiri atas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Balai Pengamanan dan Penegakkan Hukum (Gakkum) KLHK Wilayah Maluku Papua, Dinas Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan, Korwas PPNS, Ditreskrimsus Polda Papua Barat, Denpom XVII/1 Sorong, Satuan Batalyon B Pelopor Sat. Brimob Polda Papua Barat, dan KPHL Unit II Sorong

Menghentikan penambangan ilegal galian C di dalam kawasan Hutan Lindung Remu, Kota Sorong. Saat ini, petugas telah mengamankan sejumlah alat berat dan alat transportasi dan memeriksa 57 orang operator yang ada dilokasi.

Kepala Balai Gakkum KLHK Wilayah Maluku-Papua, Leonardo Gultom menyampaikan, saat ini tim sedang memeriksa dan meminta keterangan dari 57 operator yang diamankan.

Tim Operasi gabungan menghentikan penambangan ilegal galian C di Hutan Lindung Remu, Kota Sorong. Sumber foto : http://ppid.menlhk.go.id

“Apabila cukup bukti yang mengarah kepada tindak pidana, penyidik akan melanjutkan ke tingkat penyidikan,” jelas Gultom seperti dilansir dari laman http://ppid.menlhk.go.id/, Sabtu (26/9/2020).

Operasi gabungan dilakukan untuk merespon pengaduan masyarakat atas masifnya penambangan ilegal galian C di kawasan Hutan Lindung Remu, Kota Sorong, yang mengakibatkan hilangnya wilayah serapan air dan meningkatkan resiko bencana. Dampak dari penambangan ilegal mengakibatkan banjir dan tanah longsor.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat, F. Hendrik Runaweri menyatakan, mendukung kegiatan operasi di kawasan Hutan Lindung Remu Kota Sorong karena kegiatan penambangan illegal tersebut sudah terjadi bertahun-tahun sehingga temerusak tutupan hutan dan merugikan kelestarian alam.

Lokasi penambangan illegal tersebut berada dalam kawasan hutan lindung berdasarkan pada Surat Keputusan (SK) No.783/Menhut-II/2004 tanggal 22 September 2014. Berdasarkan pada SK tersebut kegiatan penambangan jelas-jelas melanggar ketentuan Undang Undang.

Dukungan juga disampaikan oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Provinsi Papua Barat, Abdul Latief Suaeri yang menyatakan, dampak dari penambangan illegal tersebut telah merusak kondisi lingkungan di Kota Sorong.

“Banjir dan tanah longsor adalah bukti telah adanya kerusakan ekologis di Kota Sorong. Penegakan hukum lingkungan mutlak dilakukan untuk membangun kesadaran kolektif masyarakat dan sekaligus menjadi alat pemerintah untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup,” kata Latief Suaeri.

Adapun Direktur Jenderal Penegakan Hukum LHK, KLHK, Rasio Ridho Sani menyampaikan, kejahatan penambangan ilegal dan perusakan kawasan hutan harus ditindak tegas dan pelakunya dihukum seberat-beratnya.

Menurutnya, dampak dari kejahatan ini jelas sekali merusak lingkungan dan membahayakan masyarakat, serta sangat merugikan negara.

“Harus kita hentikan sekelompok orang yang melakukan kejahatan untuk memperkaya diri mereka dengan mengorbankan lingkungan dan masyarakat serta merugikan negar,” katanya.

Rasio Sani mengingatkan, KLHK tidak akan berhenti menindak tegas pelaku kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan, termasuk kejahatan penambangan ilegal di kawasan hutan.

“Kami akan terus memburu pelaku yang menjadi otak penambangan ilegal galian C dikawasan hutan ini. Para pelaku akan ditindak dengan pidana berlapis baik menggunakan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) maupun UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH),” kata dia.

Dikatakan, operasi penegakan hukum ini menjadi peringatan bagi pelaku kejahatan atas sumber daya alam. “Kami tidak akan membiarkan kejahatan ataupun kegiatan ilegal bentuk apa pun di dalam kawasan hutan karena akan merusak lingkungan, mengancam keselamatan masyarakat dan merugikan negara,” tegas Rasio Sani.

Pelaku akan dikenakan pidana berlapis yaitu pasal 17 Ayat 1 juncto pasal 89 Ayat 1 dan Ayat 2 Undang Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman penjara pidana paling lama 20 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50 miliar.

Penyidik juga akan menggunakan pasal 98 dan atau pasal 109 Undang Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan ancaman penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak Rp15 miliar. (*/ARF)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *