MANOKWARI, PAPUAKITA.com—Pembentukkan Badan Khusus dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus (Otsus) dinilai kurang efektif dari sisi waktu. Dengan 5 tahun waktu kerja, badan ini tak bedanya dengan UP4B seperti yang pernah dibentuk di era kepempimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono.
Wakil Ketua Fraksi Otonomi Khusus DPR Papua Barat Dominggus Urbon mengatakan, badan khusus itu tidak memiliki peran yang strategis. Dari sisi waktu juga sangat singkat.
“Di periode awal tidak dibuat nanti akhir periode baru dibuat,” ujarnya.
Implementasi Undang Undang Otsus sudah berjalan sepanjang 2001-2021, kendati demikian tidak ada satupun sistem atau sarana prasarana atau alat ukur untuk mengukur berapa uang otsus yang dihabiskan untuk orang (asli) Papua. Juga berapa banyak orang Papua yang hidup atau yang mati? Berapa banyak orang Papua yang jadi sarjana atau sekolahnya maju.
“Ingat pendidikan itu bukan kita bangun sekolahnya, itu fisik. Tapi, fisik juga harus diikuti dengan sistem penyelenggara pendidikan yang baik, menyediakan sarana dan prasarana yang baik dan dari 2 itu termasuk guru-gurunya yang baik harus menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang baik, itu dia, gurunya berkualitas atau tidak? Hasilnya dipakai di mana?” ujar Urbon.
Potret pelaksanaan Otsus seperti itu lah yang terjadi sepanjang 2001 sampai 2021.
“Saya takut apa yang gagal 2021 terulang di tahun 2041. Kita ribut lagi. 40 tahun barang ini berjalan baru kamu tidak buat satu sistem untuk mengukur keberhasilannya,” tanya Urbon.
Kata Urbon, badan khusus sebetulnya adalah suatu lembaga otoritas secara khusus pada lintas kementerian, lintas wilayah, lintas administrasi, lintas yuridis, lintas sektor, lintas perencanaan sampai keluarga kepada orang Papua.
“Tidak bisa 1 program hanya dibuat kementerian pekerjaan umum, tidak bisa. Kalau presiden sudah mencanangkan, maka badan khusus ini menjadi superbodi yang sifatnya otoritas punya ruang lingkup nasional menyangkut kementerian – kementerian, keroyok ini ramai – ramai di Papua,” jelasnya.
Menurutnya, badan khusus ini harus bertanggung jawab secara moral di institusi demikian juga anggaran dan juga hasil atau dampak terhadap keberadaan, kemajuan orang Papua. Sebab, sambung dia, orang Papua berbeda dengan orang diluar Papua. Filosofi orang Papua humanistis, hidup berdamai dengan alam bukan memangun gedung dengan alam.
“Kita punya alam yang bagus ada berbagai hewan. Kami bisa merasakan, itu memberikan rasa nyaman dan saya hidup dengan lingkungan itulah yang saya rasakan, itu adalah adat. ini adalah perbedaan atau perpektif cara pandang, kalau politik melihat beda, kaum humanis melihat beda, kaum adat dan sebagainya melihat berbeda, maka perangkat daerah harus bekerja jujur, sepenuh hati untuk rakyat, karena pembangunan adalah amanat dari Tuhan,” tandasnya. (PK-01)