Yan Warinussy: Rakyat Papua Harus Terlibat pada Perayaan Hari Pribumi

MANOKWARI, Papuakita.com – Rakyat Papua sebagai bagian dari masyarakat pribumi dan masyarakat      adat penguasa Tanah Papua seharusnya terlibat penuh dalam perayaan Hari Pribumi.

“Saya menghimbau dan mendesak seluruh komponen rakyat Papua di Tanah Papua terlibat penuh dalam perayaan hari masyarakat pribumi internasional ke-24 tanggal 9 Agustus 2018 ini,” Demikian Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy melalui siaran pers yang diterima redaksi papuakita.com, Rabu (8/8/2018).

Kata Yan, momentum hari bersejarah tahun ini diperingati di tingkat internasional dengan tema mengenai Migrasi. Ia mengatakan, keterlibatan penuh rakyat Papua harus terjadi. Ini sesuai amanat Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM) atau the Universal Declaration on Human Rights (UDHR) tanggal 10 Desember 1948.

“Rakyat Papua sebagai bagian dari umat manusia di dunia dilindungi secara hukum dan dijabarkan lebih lanjut di dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengenai hak masyarakat adat dan bangsa pribumi di Dunia,” ujar dia.

Dia mengatakan, LP3BH bersama-sama dengan Forum Masyarakat Papua Peduli Freeport (FMPPF) sengaja memperingati hari masyarakat pribumi tersebut dengan menyoroti soal divestasi saham PT Freeport Indonesia Company (FIC).

Dimana proses itu tidak memberi tempat dan kesempatan yang adil bagi rakyat Papua, khususnya suku Amungme dan Kamoro. Selain itu, lanjut Yan, keberadaan PT FIC sejak tahun 1967 yang secara hukum masih diperdebatkan legalitasnya di tingkat internasional, sesungguhnya meninggalkan masalah. Sebab dalam dua kali perundingan dan penandatanganan Kontrak Karya (KK), masyarakat adat pemilik tanah bumi Amungsa dan Kamoro sama sekali tidak dilibatkan, baik oleh PT FIC maupun Pemerintah Indonesia.

Menurutnya, pandangan akademisi Universitas Papua, Agus Sumule dan Ketua Badan Pengurus LP3BH, yang mengemukakan terkait 8  masalah yang perlu digumuli dan dibahas serta dicarikan solusinya oleh semua pihak, terutama rakyat Papua.

“Masalah itu adalah hak-hak masyarakat hukum adat, optimalisasi manfaat dana 1 persen, pengelolaan lingkungan, khususnya pasca tambang, peluang berusaha atau ekonomi bisnis bagi orang asli Papua, ketenagkerjaan, efek pengganda (multilier effect) kehadiran industri pertambangan, manfaat fiskal bagi pemerintah daerah, dan pengamanan industri strategis,” ungkap Yan.

Yan menilai, kedepalan persoalan itu menarik untuk dijadikan sebagai rujukan atas berbagai bentuk investasi yang mengarah pada ekploitasi sumber daya alam  dari perut bumi Cenderawasih sejak dahulu hingga kini.

Yang membeberkan, selain Freeport ada juga Gag Nikkel di Kepulauan Raja Ampat, pengeboran dan produksi minyak bumi di Sorong, pengelolaan gas di proyek LNG Tangguh oleh BP Indonesia, serta sejumlah operasi tambang ilegal di beberapa wilayah seperti di dataran Kebar, daerah aliran sungai Wasirawi maupun di tanah adat Suku Koroway.

“Kesemua investasi pengelolaan sumber daya alam yang legal maupun ilegal sama sekali mengabaikan hak-hak dasar masyarakat adat papua yang sudah digariskan dilindungi dalam Pasal 43 Undang Undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus,” ujar dia lagi.

Di sisi lain, lanjutnya, kehadiran investasi raksasa seperti Freeport senantiasa dijaga dan atau dikawal oleh begitu banyak personil keamanan pemerintah Indonesia. Selama hampir 20 tahun, BP Indonesia dalam pengelolaan keamanannya hanya dilakukan dengan menggunakan pendekatan Community Based Security atau pengamanan berbasis masyarakat adat.

Yan menambahkan, konsepsi peringatan hari masyarakat pribumi internasional dengan tema migrasi turut menjadi catatan penting untuk melakukan proteksi segera bagi orang asli Papua yang mayoritas adalah masyarakat adat di Tanah Papua.

Karena populasi orang asli Papua saat ini sudah menjadi kaum minoritas dari para penduduk migran non Papua di seluruh tanah Papua, yang secara otomatis akan berpengaruh pada aspek ketahanan lingkungan, ketersediaan lahan hidup dan berusaha, kesempatan kerja dan aspek pertumbuhan ekonomi lokal.

“Ini hal serius yang patut didukung bersama oleh seluruh komponen mnasyarakat adat Papua untuk dibahas dan disiasati solusinya melalui mekanisme politik dan hukum yang berlaku sesuai amanat Undang Undang Otsus, yaitu oleh pemerintah daerah provinsi Papua dan Papua Barat serta Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua di Papua dan Papua Barat sejak sekarang ini,” pungkas Yan. (RBM/R1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *