MANOKWARI, PAPUAKITA.COM – Kepala Badan Kepegawaian dan Diklat (BKD) Provinsi Papua Barat Yustus Meidodga mengatakan, pemecatan terhadap 18 Aparatur Sipil Negara (ASN) provinsi berstatus koruptor tidak dapat dilaksanakan alias dibatalkan.
Pembatalan itu sesuai dengan hasil audiensi antara Sekretaris Daerah Kabupaten dan Kota se Papua Barat dengan Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam).

“Yang saya tahu SKB (Surat Keputusan Bersama) sudah tidak berlaku lagi. Prosesnya dimajukan menjadi bulan Maret. Sesuai SKB tersebut pemecatan sudah harus dilakukan 1 Desember 2018 lalu,” kata Yustus Meidodga, Kamis (18/2/2019).
Surat Keputusan Bersama atau SKB pemecatan ASN berstatus koruptor telah diteken oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Syafruddin dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana pada 13 September 2018 lalu.
Sesuai dengan SKB tersebut, ada sebanyak 2.357 ASN berstatus koruptor di Indonesia. Kata Yustus, pembatalan eksekusi SKB pemecatan belasan ANS, ini juga atas usulan dari para sekda. Selain itu, saat ini tengah dilakukan yudisial review ke Mahkama Konstitusi (MK).
“Pemerintah kabupaten dan kota, serta pempov Papua Barat belum melaksanakan perintah SKB tersebut. Selama belum menerima SK pemberhentian yang namanya tercantum dalam SKB masih menerima hak-haknya sebagai pegawai negeri sipil,” ungkap Yustus.
Jumlah ASN pemprov Papua Barat yang berstatus koruptor sebanyak 18 orang. Meski demikian, jumlah tersebut masih dapat berkurang maupun bertambah. Ini dikarenakan sebelum dilakukan pemecatan ada yang telah meninggal dunia, pensiun, dan ada yang mengupayakan Kasasi di Mahkama Agung (MA).
“Masih ada dua kasus yang dilanjutkan proses Kasasi di Mahkamah Agung. Sesuai dengan SKB ada 18 ASN ditambah beberapa nama yang ada di luar daftar serta ada pengurangan. Yang jelas jumlahnya masih di atas 10 ASN,” sebut Yustus Meidodga.
Menurut Yustus, alasan pembatalan SKB pemecatan ASN berstatus koruptor berdasarkan masukan-masukan dari para sekda se Papua Barat. Salah satunya, adalah alasan kemanusiaan.
“Pemerintah Papua Barat masih akan menunggu keputusan dan kepastian yang diberikan oleh kementerian. Menkopolhukam akan melakukan pertemuan lintas sektor kedua terkait usulan dan permintaan dari daerah,” tambah Yustus.
Akademisi Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Manokwari, Alex Bahamba mengatakan, pemerintah provinsi Papua Barat harus hati-hati dalam membijaki SKB terkait pemecatan ASN berstatus koruptor. Sebab tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa.
“Kalau seorang pegawai negeri melakukan itu (tindak pidana korupsi, red) maka yang bersangkutan harus diberikan tindakan hukum tegas agar yang bersangkutan bisa jera. Lain dengan tindak pidana pada umumnya. Pemecatan itu sudah tepat dan setimpal dengan perbuatannya,” kata Alex Bahamba.
Alex menambahkan, tindak pidana korupsi telah menghambat proses pembangunan yang berdampak terhadap kepentingan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. “Usulan atau masukan pemerintah soal alasan kemanusiaan harus dipertimbangan dengan sangat hati-hati,” tutup Alex. (MR3/RBM)