LP3BH Manokwari Fokus Pemajuan Sipol dan Ekosob

MANOKWARI, PAPUAKITA.com – Memasuki usia ke-22 tahun pada 12 Oktober 2018 mendatang, Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari. Fokus LP3BH Manokwari.

Akan memfokuskan gerakannya pada upaya pemajuan hak-hak asasi manusia di bidang sosial-politik (sipol) atau social and political rights dan hak-hak di bidang ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) atau economic, social and cultural rights.

Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy dalam siaran pers yang diterima redaksi PKT (papuakita.com), Rabu (3/1/2018).

“Perkembangan pelaksanaan Undang Undang nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang akan menginjak usia 17 tahun, tanggal 21 November 2018 mendatang, tapi sama sekali tidak menjawab dan memenuhi prasyarat-prasyarat penting mengenai hak-hak asasi manusia dari orang asli Papua dalam konteks sipol maupun ekosob tersebut,” ujar Warinussy.

Kata Warinussy, sepanjang 10 tahun terakhir ini (2007-2017) LP3BH mencatat pemenuhan hak-hak dasar dari bidang sipil dan politik seperti hak-hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi serta berkumpul dan berserikat sebagaimana dijamin di dalam Pasal 28 Undang Undang Dasar 1945.

Juga pemenuhan atas amanat pasal 28A Konstitusi Negara 1945 tentang hak hidup atau hak untuk hidup serta jaminan bagi penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Otonomi khusus sama sekali tidak berjalan dan senantiasa diabaikan dan tidak diamalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, khususnya di atas Tanah Papua.

“Setiap hari dan setiap saat, bahkan di awal 2018  orang asli Papua senantiasa menjadi korban dari tindakan kekerasan yang cenderung brutal dan melawan hukum serta bersifat sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang menjurus kepada kejahatan genocida (crime of genocida),” ungkap Warinussy.

Dikatakan, kasus seperti ini sepi dari pemberitaan oleh media nasional baik cetak ataupun elektronik bahkan online. “Pun diberitakan sudah “miring” dengan kutipan bahwa aparat keamanan melakukan tindakan kekerasan terhadap “pengikut” atau “simpatisan” gerakan pengacau keamanan (GPK) dan lain sebagainya,” ujar Warinussy.

Dicontohkan, rencana divestasi saham PT Freeport Indonesia Company (FIC) jelang akhir 2017 lalu, berimbas pada konflik Tembagapura. Dan masih berlangsung intensif hingga hari ini.

Di sisi lain, sama sekali kondisi ini tidak nampak secara jelas siapa sesungguhnya yang terlibat kontak senjata api dan tidak ada langkah penegakan hukum sama sekali maupun tidak ada upaya damai yang dibangun dengan sebuah blue print dari Jakarta.

“Korban senantiasa ada pada pihak rakyat sipil dan tidak pernah terselesaikan bahkan tidak terurai sedikitpun melalui langkah-langkah pendekatan damai dengan melibatkan pihak-pihak yang penting seperti misalnya pemimpin Gereja di Tanah Papua atau Komnas HAM,” jelasnya.

Warinussy membeberkan, LP3BH memiliki sejumlah catatan tentang berbagai upaya sistematis yang dilakukan oleh Negara dengan mengabaikan hak-hak dasar masyarakat adat Papua atas sumber daya alam. Yang secara jelas dilindungi dalam Pasal 43 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

“Ini diperkuat dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2015 yang mengakui dan memperkuat hak masyarakat adat atas hutan, tapi dalam praktek di tanah Papua, masyarakat adat senantiasa berada pada pihak yang kalah dan termarginalisasi dari SDA yang dimiliki dan dikuasainya sejak dahulu kala,” tuturnya.

Ditambahkan, LP3BH akan terus melakukan upaya membangun kesadaran hukum pada kelompok masyarakat adat yang termarginalisasi dari sumber daya alam yang dimiliki dan dikuasainya akibat adanya pembangunan di bidang pertambangan minerba, minyak dan gas bumi, hutan, pengelolaan laut dan perairan, industri-industri ekstraktif maupun proyek-proyek nasional.

“LP3BH tetap akan terus mendorong upaya penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM yang Berat di Tanah Papua pada dunia internasional dengan menggunakan mekanisme hukum internasional di bidang perlindungan hak asasi manusia yang berlaku secara universal,” tandasnya. (RBM)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *