HAM LP3BH Manokwari
Direktur LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy, SH. (Dok. Pribadi)

Ini Catatan LP3BH Manokwari Soal Pemajuan HAM di Tanah Papua

Diposting pada

MANOKWARI, PAPUAKITA.com – Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari merilis catatan akhir tahun mengenai perkembangan pemajuan HAM di Tanah Papua sepanjang 2017. Catatan L3BH Manokwari.

Organisasi masyarakat sipil ini, menyimpulan pemajuan HAM di bumi cenderawasih ini mencerminkan wajah buram dan mengkhawatirkan.

Karena, menilai pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo sama sekali tidak menunjukkan adanya political will. Dalam mendorong proses penyelesaian berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang sudah terjadi lebih dari 50 tahun di Tanah Papua.

Direktur LP3BH, Yan Christian Warinussy, SH mengatakan, Presiden Jokowi dan jajarannya tidak mampu memberikan jaminan hukum dan kepastian, bahwa berbagai bentuk tindakan kekerasan aparat negara (TNI dan Polri) terhadap rakyat sipil di Tanah Papua. Akan berhenti dan atau tidak akan terjadi lagi dalam waktu saat ini maupun di masa mendatang.

Kata Warinussy, kondisi ini dapat dilihat dari 3 kasus yang diduga keras merupakan pelanggaraan HAM berat berkategori kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf b dan pasal 9 Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.

“Ketiga kasus tersebut yakni dugaan pelanggaran HAM berat dalam kasus Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat tahun 2001, kasus Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua tahun 2003. Dan kasus Lapangan Karel Gobay, Enarotali, Kabupaten Paniai, Provinsi Papua pada 8 Desember 2014 lalu,” beber Warinussy.

Dalam catatan LP3BH, kasus Wasior dan Wamena meskipun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sudah melakukan tugas penyelidikan sesuai amanat Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Namun, kelanjutan proses hukum kedua kasus tersebut belum dapat diselesaikan oleh negara melalui Kejaksaan Agung dan Pengadilan HAM yang dibentuk sesuai amanat Undang Undang.

Dikatakan, kasus Paniai, Tim ad hock Komnas HAM sudah mendengar keterangan sesuai proses hukum dari sejumlah anggota Polri di lokasi kejadian perkara, atas akses dari Kapolri.

Meski demikian, Tim Komnas HAM ini sama sekali belum memperoleh akses dari Panglima TNI, untuk dapat mendengar keterangan dari para anggota Paskhas TNI AU yang bertugas saat kejadian pada 8 Desember 2014 itu.

“Kunjungan presiden ke tanah Papua sepanjang tahun 2017, baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat tapi sayang sekali, ini hanya memfokuskan diri pada pembangunan kesejahteraan dan infrastruktur belaka tanpa mau sedikitpun menyentuh akar masalah yang senantiasa menjadi sumber konflik di tanah Papua,” ujar Warinussy.

Rendahnya perkembangan dan pemajuan HAM juga dilihat pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat dan berkumpul serta berserikat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 Undang Undang Dasar 1945 di tanah Papua sangat meningkat dalam 5  tahun terakhir ini.

Di mana, setiap mahasiswa dan pemuda Papua serta organisasi HAM seperti LP3BH hendak melakukan aksi – damai guna mengenang peristiwa pelanggaran HAM di Tanah Papua. Sudah diintai dan infiltrasi oleh aparat keamanan.

Untuk memantau segenap rencana aksi damai yang secara hukum sudah ditempuh prosedur sesuai amanat Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.

Menurutnya, di luar Manokwari pada sejumlah kota besar, seperti di Jayapura, Merauke, Wamena, Nabire, Biak dan Sorong serta Fakfak. Sepanjang tahun 2017 tercatat lebih dari 300 orang ditangkap dan ditahan serta dimintai keterangan oleh aparat keamanan setelah aksi damainya “dibubarkan” secara paksa.

Dalam konteks internasional, lanjut Warinussy, di level Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) baik di Sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, maupun di sidang majelis umum PBB di New York, Amerika Serikat pada September dan Oktober 2017.

Justru masalah pelanggaran HAM di tanah Papua berkategori kejahatan genosida (the crime of genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), ini menjadi isu yang hangat dibahas dan didorong langkah penyelesaiannya dengan melibatkan PBB sebagai fasilitator.

Sikap PBB ini mendapat respon dari negara-negara dari kawasan Pasifik, seperti Vanuatu, Kepulauan Solomon, Tuvalu, Nauru dan St. Vincen and Grenadines dari kawasan Karibia.

Yang secara bergantian mengangkat isu pelanggaran HAM di Tanah Papua disertai kekhawatiran mereka terhadap ancaman kepunahan etnis ras Melanesia di atas Bumi Cenderawasih tersebut dalam beberapa tahun mendatang apabila PBB tidak mengambil sikapnya.

“LP3BH cenderung melihat bahwa proses penyelesaian persoalan pelanggaran HAM di Tanah Papua sepanjang sejak 1962 sampai saat ini tidak bisa lagi diselesaikan melalui mekanisme hukum nasional semata tapi sudah saatnya dipertimbangkan untuk menggunakan mekanisme hukum internasional dengan melibatkan PBB,” ucapnya.

Warinussy mengemukakan, sangat relevan dan urgen untuk PBB dapat mengirimkan pelapor khusus (special rapporteur) dalam aspek/bidang kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) serta kebebasan berekspresi dan berpendapat (freedom of expretion and speech).

Dan, juga kebebasan berkumpul dan berserikat (freedom of assembly and unity) serta anti penyiksaan untuk berkunjung ke tanah Papua dalam tahun 2018 mendatang.

“Kunjungan para pelapor ini diperlukan dan mendesak dilakukan di tahun 2018, sebagai ajang penting untuk mendorong dilaksanakannya langkah-langkah penyelesaian dugaan pelanggaran HAM yang berat di tanah Papua pada tingkat internasional,” pungasnya. (RBM)