MANOKWARI, Papuakita.com – Kompensasi dana negara kepada pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten yang memiliki daerah konservasi perlu disandarkan pada kebijakan berdasarkan luas tutupan hutan.
Hal itu diutarakan salah seorang peneliti dari Pusat Penelitian Perubahan Iklim Universitas Indonesia/ Research Center for Climate Change University of Indonesia (RCCC UI), Dr. Sonny Mumbunan dalam diskusi bersama para jurnalis di Manokwari, Senin (08/10/2018).
Sonny mengatakan, masyarakat hutan telah berkorban menjaga hutan yang hasilnya dinikmati oleh semua kalangan termasuk pihak yang tidak terbebani menjaga kelestarian hutan.
“Dalam menjaga hutan masyarakat daerah sekitar hutan tentu kehilangan peluang ekonomi dari pemanfaatan hutan, jika ini dibiarkan masyarakat pasti akan tergoda memanfaatkan hutan untuk kegiatan ekonomi yang tidak sejalan dengan upaya konservasi seperti perkebunan sawit dan pertambangan,” ujar Sonny.
Dalam diskusi tersebut, Sonny mengatakan, hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap daerah konservasi hutan, kalangan Akademis UI telah mengusulkan kepada pemerintah pusat agar menerbitkan kebijakan transfer fiskal tersebut.
Sonny menjelaskan, perlunya kompensasi dana negara kepada pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten, yakni berupa Dana Alokasi Umum (DAU). Penerapan kebijakan ini nantinya hasil akhir yang didapat semakin luas hutan yang dikelola, maka DAU yang diterima pun semakin besar, begitupun sebaliknya.
“Pemilihan skema DAU dalam skema transfer fiskal ini didasarkan pada karakteristiknya yang sangat fleksibel dibanding dengan dana insentif lainnya. DAU memberikan diskresi bagi daerah untuk penggunaannya dan mampu menyasar capaian hasil yang berdampak luas,” jelas Sonny.
Dia mengatakan, kompensasi berupa dana insentif melalui skema DAU ini digunakan untuk menambal hilangnya peluang ekonomi masyarakat sekitar hutan yang tidak bisa memanfaatkan potensi hutan sebagai sumber pendapatan mereka.
Menurut Sonny, berdasarkan hasil penelitian yang menunjukan hubungan antara luas hutan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan sumber daya alam, serta pendapatan perkapita. Semakin luas hutan ternyata PAD bagi hasil pajak dan sumber daya alam yang diperoleh daerah cenderung menurun.
“Hasil penelitian ini akan saya sampaikan besok (hari ini) di Konferensi Internasional Keanekaragaman Hayati, Ekowisata, dan Ekonomi Kreatif (ICBE) 2018 di Kantor Gubernur Papua Barat”, tutur anggota Akademi Ilmuan Muda Indonesia (ALMI) ini.
Sonny telah menyampaikan hasil penelitian ini sebelumnya bersama tim di Konferensi Transfer Fiskal untuk Kabupaten Kaya Hutan yang digelar di Jakarta medio September. Konferensi itu digelar Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan didukungan oleh Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) Indonesia.
Kesempatan itu juga dihadiri belasan bupati dan pejabat daerah kabupaten dari Papua, Kepulauan Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera. Dalam Konferensi tersebut, berhasil diperoleh komitmen bersama para bupati yang tertuang dalam Komunike Cikini.
Adapun komunike tersebut lahir atas dasar kebijakan transfer fiskal pemerintah pusat yang belum menghargai pilihan dan upaya kabupaten kaya hutan untuk menjaga dan memulihkan hutan.
“Isi Komunike ini tentu selaras dengan cita-cita Pemerintah Papua Barat untuk menjadikan provinsi konservasi. Untuk mendapatkan dukungan yang lebih luas, Komunike ini juga akan dibagikan kepada peserta ICBE 2018,” Tutup Sonny. (EFN/R2)