MANOKWARI, Papuakita.com – Aksi palang jalan raya yang sering dilakukan masyarakat di Manokwari, sejatinya bukan budaya lokal. Tindakan itu hanyalah luapan emosi dan kekesalan.
Anggota DPR Papua Barat, Jhon Dimara mengatakan, aksi palang jalan ini dipicu oleh beberapa faktor. Misalnya, kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dalam kasus-kasus kecelakaan lalulintas hingga ketersediaan rambu-rambu lalulintas dan fasilitas pejalan kami belum memadai.
“Saya sepakat dengan pernyataan kapolres (Manokwari) soal budaya pemalangan itu harus ditiadakan, karena menimbulkan kerugian bagi banyak pihak. Mengganggu ketertiban umum. Jika dipaksakan untuk tetap dilakukan, maka bisa berimplikasi hukum,” kata Jhon Dimara kepada papuakita.com, Minggu (19/8/2018).
Menurut Jhon Dimara, ketertiban berkendara di jalan raya di daerah ini, juga menjadi salah satu pemicu munculnya kecelakaan yang berujung pada pemalangan jalan raya.
“Jalan raya yang ada di Papua khususnya di Manokwari tidak ada tempat khusus untuk pejalan kaki. Juga ada pengendara yang belum menguasai aturan berkendaraan di jalan raya, seperti mobil-mobil hilux (mobil tipe L200),” ujar dia.
Kendaraan tipe L200 ini, digunakan sebagai kendaraan angkutan umum – meski belum ada trayek resmi, jalur yang dilayani adalah khusus ke daerah-daerah pinggiran yang memiliki kondisi geografis sulit untuk dijangkau.
“Mobil hilux sering bikin masalah. Pak kapolres harus tegas. Intensifkan pengawasan petugas lantas di titik-titik tertentu untuk memantau kendaraan-kendaraan ini yang lari di dalam kota dengan kecepatan tinggi biar bisa mengantisipasi supaya tidak terjadi kecelakaan. Pemalangan itu terjadi karena ada insiden tabrak lari,” kata Jhon Dimara.
Selain itu, lanjut Jhon Dimara, aksi palang jalan raya adalah bentuk desakan supaya ada perhatian aparat dalam mengungkap kasus-kasus kecelakaan lalulintas, terutama kasus tabrak lari.
“Palang jalan ini bukan budaya. Bukan hanya terjadi di Manokwari, bahkan di Jakarta itu lebih parah.
Kalau kedapatan kendaraannya langsung dibakar di tempat lapis dengan pengendaranya. Budaya ini datang dari luar, bukan dari dalam daerah. Kalau tidak dipalang, siapa yang bertanggung jawab?,” ujar dia.
Jhon Dimara menambahkan, pernyataan kapolres harus didukung dengan tindakan penertiban kendaraan bermotor yang tidak sesuai ketentuan di jalan raya, pengendara yang ugal-ugalan, dan kelengkapan rambu-rambu lalulintas.
“Perlu juga dilakukan pemeriksaan secara rutin terhadap sopir-sopir kendaraan jalur jauh, seperti jalur ke Pegunungan Arfak, Manokwari Selatan, Bintuni, dan Kebar. Bisa saja mereka ini doping sehingga tindakan itu bisa memicu terjadinya kecelakaan lalulintas,” tutup Jhon Dimara. (RBM/R1)