Dipersoalkan Perjanjian New York 1962

MANOKWARI, Papuakita.com – Perlunya dilakukan langkah hukum oleh rakyat Papua dalam mempersoalkan implementasi pernajian New York (New York Agreement). Demikian advokat dan pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua, Yan Christian Warinussy melalui siaran pers yang diterima redaksi papuakita.com. New York Agreement dilaksanakan pada 15 Agustus 1962.

“Perjanjaian tersebut tidak sesuai dan cenderung merupakan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), ini menurut amanat pasal 1365 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang disadur dari Burgelijk Wetboek (Kitab Hukum perdata Belanda dahulu),” kata Warinussy.

Menurutnya, berkenaan dengan peringatan 56 tahun ditanda tanganinya Perjanjian New York tersebut oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda untuk kemudian menjadi dasar hukum ‘peralihan’ administrasi pemerintahan di atas Tanah Papua dari Belanda kepada Indonesia melalui Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Penting saat ini, lanjut Warinussy, untuk memulai langkah hukum tersebut dengan mempersoalkan aspek-aspek implementasi dari isi beberapa pasal krusial dan urgen dari perjanjian tersebut yang dalam prakteknya nyata-nyata tidak dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip internasional.

Misalnya, kata dia mengenai model praktek pengambilan wakil-wakil rakyat Papua dalam pemilihan bebas (act of free choice) yang pada saat itu berjumlah 1.025 orang. Dimana, penduduk Papua  tahun 1969 mencapai 800 ribuan jiwa.

“Mengenai cara-cara indoktrinasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui keterlibatan TNI dan Polri dengan cara ‘karantina’ dan atau ‘pengasingan’ para wakil-wakil rakyat Papua di sejumlah barak-barak atau tangsi militer beberapa minggu sebelum dilakukannya tindakan pilihan bebas tersebut,” ujarnya.

Dia mengungkapkan, jelang pelaksanaan act of free choice, diduga terjadi tindakan kekerasan bahkan dugaan pelanggaran HAM berat terahdap warga sipil (orang asli Papua) yang melakukan aksi-aksi damai penolakan cara pemilihan dengan sistem perwakilan yang disebut Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), tersebut secara sadis dan cenderung sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).

“Langkah hukum yang saya usulkan disini adalah sebuah konstruksi pemikiran alternatif yang perlu didorong dan diperdebatkan secara ilmiah guna mencari formula dan kerangka dalam melakukan agenda pelurusan sejarah yang selama ini menjadi kritikan dan desakan dari mayoritas rakyat Papua,” ungkapnya.

Menurut Warinussy, desakan tersebut mengemuka sejak penyelenggaraan Mubes Rakyat Papua tahun 1999, hingga Kongres Papua II (Mei-Juni 2000) di Jayapura. Dan Digunakan sebagai bahan penting oleh para pembuat undang undang (wetgever) di Jakarta dan Papua, yaitu dalam merumuskan langkah pelaksanaan klarifikasi sejarah dalam rumusan pasal 46 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

“Langkah hukum terhadap implementasi New York Agreement ini menurut saya sangat perlu diambil di dalam wilayah hukum Indonesia sekarang ini, selain langkah-langkah hukum yang sudah dan sedang ditempuh oleh berbagai elemen politik rakyat Papua dengan menempuh proses di tingkat internasional, termasuk di negeri Belanda sekalipun,” tutup Warinussy. (RBM/R1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *