MANOKWARI, PAPUAKITA.com—Meski memberikan apresiasi atas upaya penegakan hukum yang dilakukan terhadap pelaku Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di wilayah Papua Barat, khususnya di Kabupaten Manokwari.
Majelis Rakyat Papua (MRPB) menilai penegakan hukum tersebut belum menunjukan keadilan. Sebab belum menyentuh pemain utama alias para aktor yang berpersan sebagai pemodal. Mereka yang ditangkap adalah penambang ‘kelas teri’. Bukan penambang ‘kelas kakap’.
Ketua MRPB Maxsi Nelson Ahoren mengklaim, MRPB memiliki data soal siapa saja yang berperan sebagai pemain kelas kakap alias pemodal. Ia menyebutkan, pemodal yang memiliki ekskavator dengan jumlah 5 unit ke atas tidak ada yang ditangkap dan masih bebas beraktivitas.
“Kami lihat itu yang ditahan itu hanya yang kecil-kecil. Belum kami lihat nama-nama yang ada didalam data kami. Aktor atau pelaku utama, baik yang ada di sini maupun yang ada di Jakarta. Semua orang-orang yang bermain dalam penambangan liar,” ujar Maxsi Nelson Ahoren saat memberikan keterangan pers, Jumat (6/5/2022).
Untuk itu, Maxsi Ahoren meminta kepolisian segera mengeluarkan penambang yang ditahan. Sambil MRPB dan kepolisian bersama-sama duduk dengan masyarakat adat dan saling mengkroscek dan membuka data-data para pemain di wilayah tambang ilegal.
“Polisi dan MRPB duduk kalau mau buka itu (data), kita buka nama-nama ini ada di mana? Bahkan ada yang sudah keluar dari Papua Barat. Tetapi suplainya tetap kirim terus,” ungkap Maxsi.
Sebelumnya, Direktorat Reserse Kriminal Khusus dan di back up Satuan Brimob Polda PB telah menangkap sebanyak 46 orang yang diduga sebagai penambang emas tanpa izin pada 16 April lalu.
Dari hasil pengembangan kasus PETI ini, 31 orang ditetapkan sebagai tersangka. Polisi mengidentifikasi para tersangka ini terbagi dalam tiga kelompok. Selain itu polisi berhasil mengamankan barang bukti berupa 3 unit ekskavator, berbagai jenis peralatan dulang, dan emas 136,97 gram.
Berita penangkapan ini mencuat ke publik melalui siaran pers Bidang Humas Polda PB. Hingga kini, perkembangan kasus ini belum jelas. Maxsi Ahoren juga menyoroti soal kasus 18 penambang yang meninggal dalam kecelakaan di ruas jalan Pegunungan Arfak-Manokwari.
“Kasus ini juga kita belum tahu sudah sampai dimana. Statusnya kami belum tahu siapa pemilik kendaraan itu. Orang-orang ini dibawa oleh siapa? In ikan semua tertutup. Kami tahu ini siapa punya mobil dan siapa yang punya orang kerja. Orang ini masih ada duduk diam di Manokwari,” timpal Maxsi Ahoren.
Menurut Maxsi Ahoren, masyarakat pemilik ulayat lokasi penambangan telah menyegel areal penambangan. Kendati demikian masih ada penambang yang beraktivitas hingga kini. Dirinya mengatakan, kondisi ini adalah gambaran penegakan hukum yang belum merata.
“Informasi yang kami peroleh masih ada orang-orang yang menambang di lokasi. Penyisiran yang dilakukan waktu lalu, itu hanya setengah saja. Penambangan ini sudah meringsek ke dalam hutan sejauh 500 meter hingga 1 kilo meter dari bibir sungai. Tetapi mereka ini tidak ditangkap padahal ini yang merusak,” ujarnya.
Dia menegaskan, aktivitas penambangan ilegal ini bertentangan dengan hukum. Akan tetapi, eksistensi dan kehidupan masyarakat adat pemilik ulayat mesti dipertimbangan sehingga mereka tidak menjadi korban keserahkahan dan penegakan hukum yang dilakukan secara tebang pilih.
Maxsi Ahoren menambahkan, masyarakat adat sampaikan kalau dihentikan ini penambangan emas, mereka mau makan apa? Mereka sampaikan biarkan kami merasakan sumber daya alam kami. Ini soal yang mesti disikapi dengan bijak.
“Saya berharap semua stakeholder yang punya keterlibatan terhadap aktivitas penambangan ini mesti menyikapi kondisi yang ada dengan bijak. Tidak saja emasnya yang diambil tetapi hutannya juga sudah terganggu,” pungkasnya. (PK-01)