Politisi DPR PB Khawatir Pembentukan Biro Khusus Pengadaan Barang dan Jasa tak Optimal

MANOKWARI, Papuakita.com – Wacana pembentukan Biro Khusus pengadaan barang dan jasa di lingkup Pemerintah Provinsi Papua Barat ditanggapi dingin kalangan politisi di DPR Papua Barat (DPR PB). Rencana pembentukan instansi itu dinilai tak akan optimal jika tidak diduduki oleh para pejabat yang memiliki integritas tinggi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab.

Politikus Demokrat, Imanuel Yenu menekankan, wacana tentang pembentukan biro khusus bisa berjalan sesuai harapan, jika diikuti dengan ketegasan gubernur terhadap bawahannya yang tidak maksimal dan patuh dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab.

Politikus Demokrat, Imanuel Yenu. Foto : RBM/PKT

“Bawahan pak gubernur harus bisa mendengar arahan gubernur. Harus bisa menerjemahkan pikiran gubernur, kita mau bikin unit apa atau biro khusus tetapi bawahan tidak bisa mendengarkan arahan gubernur untuk kebaikan masyarakat tentu apa yang kita harapkan tidak bisa berhasil,” kata Imanuel Yenu, Selasa (30/10/2018).

Dia mencontohkan, pokja pengadaan barang dan jasa telah ada dan melaksanakan tugas pengelolaan barang dan jasa, tetapi yang terjadi tidak mampu menerjemahkan arahan dan pikiran gubernur untuk mengatur penyaluran pekerjaan bagi pengusaha (asli) Papua.

“Tidak bisa dengar, mestinya mereka diberi sanksi. Harus ada hukuman buat mereka. Orang ini sudah melawan harus dinonaktifkan, harus diistirahatkan. Saya tegaskan bukan persoalan biro khusus atau pokja. Persoalannya adalah siapa yang diberi tanggung jawab ini supaya punya hati untuk melayani,” ujar Imanuel Yenu.

Menurut Yenu, biro khusus tidak saja melaksanakan tugas penyaluran paket pekerjaan, tetapi harus bisa melakukan pembinaan terhadap pengusaha (asli) Papua, sehingga para pengusaha bisa berkembang dari pengusaha kecil menjadi menengah hingga menjadi pengusaha besar.

“Biro khusus harus bisa lakukan itu. Kalau biro khusus ada tetapi kerjanya seperti yang lain-lain, sama saja. Tidak ada gunanya. Jangan memasang orang yang  mengambil keuntungan dari kebijakan pak guberur, tapi lihat orang yang baik seperti pak gubernur, membangun dengan hati dan menyatukan dengan kasih. Kita butuh orang seperti itu,” tuturnya.

Cantolan hukum

Meski demikian, pembentukan biro khusus pengadaan barang dan jasa harus memiliki landasan hukum yang kuat. Karena biro ini nantinya  bertugas mengelola semua paket pekerjaan yang harus dilakukan dengan baik dan bertanggung jawab demi mengeliminir implikasi hukum.

Politikus Demokrat lain, Arifin mengatakan, pengadaan barang dan jasa menggunakan sistem elektronik melalui LPSE (layanan pengadaan secara elektronik) memiliki cantolan hukum yang jelas. Sama halnya dengan pembentukan Biro Otsus.

“Biro khusus pengadaan barang dan jasa itu nomenklatur pembentukannya apa? Cantolan hukumnya sebelah mana? Mari kita dalami dulu. Kita bicarakan dulu supaya gubernur tidak menyalahi hal-hal yang telah ditentukan dengan negara,” ujar Arifin.

Dijelaskan Arifin, biro otsus ini menjadi suatu keharusan dalam implementasi otonomi khusus, karena termuat di dalam Undang Undang Otsus. “Kami ini cuman mitra yang mana mewujudkan suatu regulasi yang baik dan benar. Kasihan eksekutif berjalan tanpa kita berikan koreksi dan masukan yang tepat soal itu,” ujarnya.

Menurut Arifin, pengadaan barang dan jasa oleh ULP (Unit Layanan Pengadaan) melalui kelompok kerja (Pokja) sudah tepat. Soal apakah efektif dan efisien atau tidak, itu kembali pada kinerja oknum di masing-masing pokja yang ada.

“Ketika menjadi tidak efektif dan efisien itu akibat ulah oknum. Oknum itu siapa? Tanya panitia dan lembaga di bawahnya, kenapa bisa begini? Kenapa sistem yang lebih transparan ini begini dibandingkan sistem dulu manual, aanwijzing. Ini berarti oknum panitia dan di bawahnya yang perlu dilakukan kajian oleh gubernur. Mungkin oknumnya yang perlu diganti,” tukasnya.

Arifin menambahkan, sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik saat ini menjadi sistem yang paling transparan. Dengan demikian, untuk membentuk instansi baru yang membutuhkan regulasi baru, perlu ada pendalaman yang dilakukan bersama antara pemerintah provinsi dan DPR Papua Barat.

“Kenapa sistem yang sudah ditetapkan ini bisa sampai keluar dari regulasi. Kalau membentuk regulasi baru cantolan hukumnya ada tidak? Kalau kaitan hukumnya lemah malah kita nanti dipanggil-panggil lagi. Jangan karena ada masalah kecil di sistem pengelolaan kita terburu-buru melakukan sesuatu,” katanya. (RBM)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *