Origenes Wonggor sesalkan sikap represif Kepolisian

MANOKWARI, PAPUAKITA.com—Tokoh masyarakat Kabupaten Pegunungan Arfak Origenes Wonggor menyesalkan, sikap represif aparat kepolisian yang bertugas mengungkap kasus kepemilikan senjati api ilegal di Kampung Maibri. Ia mengatakan, mestinya aparat mengedepankan tidakan humanis dan jauh dari kesan intimidasi, bahkan sampai menggunakan tindakan fisik terhadap pelaku atau orang yang dicurigai memiliki senjata api (senpi) ilegal.

“Kepolisian dari Polda Papua Barat melakukan penggerebekan di dalam rumah Pak Bitairer yang dicurigai memiliki senjata api secara ilegal sekira hari Selasa, itu dilakukan atas informasi yang diperoleh bahwa yang bersangkutan memiliki senjata api,” ujar Wonggor, Jumat (10/3/2023)

Dalam bertugas, ungkap Wonggor, aparat masuk dan mengacam yang bersangkutan bersama anak dan istrinya di dalam rumah, bahkan anak laki-laki dari Bitairer sempat dipukul karena memprotes tindakan aparat yang dinilai kasar terhadap orang tuanya.

“Aparat ancam dengan mengatakan ”kalau bapak tidak kasih senjata, kita akan tembak bapak dan ibu serta anak-anak juga yang ada di dalam rumah ini. Kejadian ini ada saksinya, mereka yang ada di dalam rumah itu jadi saksi”,” tutur Wonggor mengulang pengakuan Bitairer.

Menurut Wonggor, senjata api dalam kehidupan masyarakat Arfak menjadi budaya. Budaya yang melekat dalam proses perkawinan, bahwa senjata api wajib menjadi mas kawin bagi seorang laki-laki yang hendak meminang perempuan. Pun dipakai di luar dari itu, sebagai alat berburu. Tidak lebih.

“Orang Arfak ini semua merah putih, maka pihak keamanan lihat dengan cara baik. Kita tidak punya kekuatan untuk lawan negara, kita orang Arfak tidak pakai senjata untuk lakukan penembakan, perlawanan serta membuat kekacauan. Kita itu pakai hanya untuk mas kawin,” tukasnya

Kepemilikan senpi ilegal oleh Bitairer diperoleh dari hasil pembayaran mas kawin salah seorang putrinya. Kemudian, ia mendapatkan tambahan senjata dari hasil membeli. Informasinya dibeli dari oknum aparat.

“Pak Bitairer mengaku dapat senjata itu beli dari oknum aparat. Saya tidak paham jenis senjatanya apa. Polisi paksa naik untuk paksa mau ambil barang. Polisi paksa terus dan pukul Pak Bitairer hingga senjata 4 pucuk berhasil diamankan. Ada senjata peninggalan Jepang 1 pucuk, peninggalan Amerika 1 pucuk, 2 itu rakitan serta peluru 4 butir,” beber Wonggor.

Cara memperlakukan terduga pemilik senpi ilegal, lanjut Wonggor, mestinya tidak dengan kekerasan. Sebab, aparat pasti bisa membedakan, terduga pemilik senpi ini memiliki catatan kriminal atau berkasus, termasuk apakah menjadi bagian dari kelompok kriminal bersenjata yang melakukan perlawanan kepada negara.

“Dia ini orang yang tidak bisa bahasa Indonesia, tidak punya apa-apa. Kenapa diperlakukan seperti itu, rasa kemanusiaan ada di mana? Lihat baik-baik, dia memang punya senjata, tapi dia tidak terlibhat kelompok kriminal bersenjata atau pengacau keamanan. Orang seperti ini tidak mungkin lawan negara dan tembak orang,” ungkapnya.

“Coba tunjukkan mana pelaku penembakan yang terjadi di Tambrauw dan Maybrat, mana saja yang sudah ditangkap? Mana, mana? Yang ada di Pegunungan sana mana, ada yang ditangkap? Jangan bikin persoalan baru di sini. Kita ini paling aman. Hari ini, kita jamin daerah ini NKRI, merah putih,” tegas Wonggor yang juga Ketua DPR Papua Barat.

Wonggor mengaku telah berkoordinasi dengan Kapolda dan Kapolres Manokwari terkait kasus kepemilikian senjata api tersebut. Ia juga meminta masyarakat tidak lepas kontrol dan tetap mengendalikan diri dengan tidak melakukan tindakan yang berlawanan dengan hukum. Sebab dirinya sudah berkomunikasi dengan kapolda dan Kapolres Manokwari.

“Saya sudah komunikasikan dengan pak kapolda dan kapolres, kami paham bahwa aturan tidak membolehkan kita memiliki senjata api. Tapi secara adat, kita orang Arfak yang punya Manokwari, senjata dimiliki dan disimpan sebagai mas kawin,” katanya.

“Kalau saya punya anak laki-laki, saya harus punya senjata 1 buat taruh sebagai mas kawin pertama, baru kita cari babi, kain timur, dan uang. Itu semua nomor dua, kalau tidak kita bayar senjata secara sosial kita dianggap tidak mampu bayar mas kawin dan orang-orang akan menilai kita,” tambah Wonggor.

Wonggor berharap, sikap represif aparat tidak perlu ditunjukkan kepada masyarakat jika tidak ada perlawanan. Sebab kasihan dengan Pak Bitairer yang saat itu, salah satu tangannya sakit dan saat diinterogasi itu ditarik dan merasa kesakitan.

“Melihat itu, anaknya menegur aparat tetapi dibalas dengan pukulan sampai-sampai bagian leher yang dipukul itu masih sakit. Kalau mau tangkap dengan cara yang baik, manusiawi. Intimidasi dan bilang mau ditembak, itu ada saksinya banyak, ada anak dan istrinya juga. Di dalam rumah itu semua jadi saksi. Mereka mau minta tolong ke tetangga, polisi larang,” tutup Wonggor. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *